Berdayakan Tetangga Sekitar, Sekali Produksi 1-3 Ton Ikan Asin
Melihat Lebih Dekat Kampung Si Abang di Kelurahan 5 Ulu
Sudah lebih dari 14 tahun Kampung Si Abang mengandalkan mata pencaharian dari ikan asin. Mereka lebih berdaya dan “kaya” saat hasil ikan laut melimpah.
----------------------------------------------------------
MELIANA (45) menyerahkan uang Rp100 ribu kepada Sayuda (25) yang baru saja selesai bekerja menyiangi ikan di depan rumahnya, kemarin. “Dapat seratus kilogram lebih. Besok saya mau ngambil upahan lagi ya, Bu,” kata Sayuda. Layaknya gotong royong, Sayuda tak sendiri, tetapi ada sembilan ibu-ibu lain yang juga tetangga Meliana mengambil upahan menyiangi ikan.
Jika kapal Medi berlabuh ke pesisir 5 Ulu dan menjual ratusan kilogram ikan laut, Meliana langsung memanggil mereka. Sejak pagi hingga sore, ibu-ibu di kampung itu akan berkumpul di rumah agen-agen ikan asin, termasuk di rumah Meliana. Lalu menyiangi ikan untuk diasinkan, seperti ikan bilis, pari, kepala batu, lidah. “Di Kelurahan 5 Ulu ada sekitar 22 agen ikan asin, dan khusus kampung kami ada 10 agen,” ujar Meliana yang juga Ketua Paguyuban Iwak Asin Si Abang.
Dia mengatakan ikan yang diasinkan semuanya ikan laut hasil tangkapan nelayan di perairan Sungsang sampai Selat Bangka. “Untuk ikan laut, ada sekitar 15 kapal pengepul memasok ke sini, tapi ikan air tawar tidak ada,” katanya lagi. Setiap agen ikan asin, termasuk Meliana bisa membeli 1-3 ton ikan sehari. “Jika hasil tangkapan nelayan lagi banyak, ya banyak. Kadang sedikit hanya satu ton, apalagi pada bulan Desember dan Januari, saat gelombang laut sedang tinggi, nelayan takut melaut karena banyak kejadian (kecelakaan kapal, red),” imbuhnya.
Jika ikan lagi “banjir”, harga belinya murah Rp4 ribu-Rp5 ribu per kg, sebaliknya jika sedikit mahal Rp7 ribu-Rp8 ribu. “Modal sekali produksi Rp7 juta-Rp10 juta. Selain beli ikan, modal itu untuk beli garam 5 karung dan upah karyawan,” terangnya. Dalam prosesnya, ikan laut disiangi dan dicuci bersih. Untuk menyiangi ikan, Meli meminta bantuan tetangganya karena jumlah beratus kg, begitupula agen ikan asin yang lain. Warga kampung lain pun boleh mengambil upahan.
“Biasanya ada 6-10 orang menyiangi ikan, upahnya Rp600 per kg. Kalau pulang ibu-ibu bawalah Rp50 ribu-Rp100 ribu. Dari pagi sampai sore mereka di sini,” tuturnya. Sehabis dicuci bersih, ikan digaremi dan direndam semalaman. Orangnya beda lagi, biasanya bapak-bapak atau remaja tanggung, termasuk yang putus sekolah daripada nganggur. Upahnya Rp100 ribu se-ton.
Setelah digaremi, baru dijemur di atas waring sejak pagi. Kalau cuaca panas, jam 1 siang sudah kering dan diangkat. “Tapi yang susah musim hujan bisa sampai 2-3 hari,” ujarnya. Tukang jemur 5-6 orang juga upahan Rp10 ribu per waring. Setelah itu baru ikan asin dijual ke agen besar di Pasar 10 Ulu. Kadang ada pedagang yang datang ke Kampung Si Abang atau mereka jual eceran ke pedagang Pasar 26 Ilir, Sekip. Harganya Rp20 ribu-Rp25 ribu per kilogram.
“Setiap hari kita produksi, tidak sampai stok ikan karena akan busuk. Hasil ikan melimpah kami kaya. Tapi yang susah suplai ikan sedikit atau musim hujan, bisa sampai lima hari tidak jual ikan asin. Inilah kadang kami suka “makan” modal. Namanya kebutuhan hidup, anak-anak perlu biaya sekolah. Paling sekali produksi untung kotor Rp1 juta. Jika modal sudah terpakai, terpaksa berutang dulu,” imbuhnya.
Tapi minimal, usaha ikan asin ini buat warga Kampung Si Abang punya penghasilan, berdaya karena ikan, bisa biayai hidup rumah tangga walau pas-pasan. Dan paling penting lepas dari kemiskian. “Agen ikan asin memang ada 10 orang, tapi yang gantungkan hidup dari sini lebih 100 KK dari 350 KK yang ada di RT 05 dengan penduduk seribu jiwa. Kadang satu KK, suami atau anaknya garemi atau menjemur ikan asin, istrinya menyiangi ikan,” pungkasnya. (fad)