Teknologi Smart Farming Menekan Dampak Global Warming, Memacu Perekonomian RI

SMART FARMING : Pada sistem pertanian pintar (smart farming), petani bisa memanfaatkan drone untuk menyemprotkan pestisida dan pupuk cair ke lahan pertanian. -Foto : DOK BRIN-

PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masih menjadi penopang utama perekonomian RI. Data Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan Harga Konstan 2010, pada triwulan I 2024 nilainya mencapai Rp327,1 triliun atau 11,61 persen dari total PDB Rp3.112,9 triliun. Raihan ini nomor tiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan besar-eceran serta reparasi mobil motor.

Namun seiring pemanasan global yang kian masif dan tingginya suhu bumi saat ini di range 0,74 ± 0,8 derajat celcius, mengancam produktivitas sektor pertanian dan ketahanan pangan. Efek global warming memicu perubahan iklim dan pergeseran musim sehingga petani sulit menentukan masa tanam dan panen, berkurangnya unsur hara, kesuburan lahan menurun, ketersediaan air semakin terbatas akibat kekeringan, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, praktik pertanian yang tidak berkelanjutan ikut menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 12-14 persen dari penggunaan alat pertanian, pengolahan limbah, pemupukan, hingga transportasi. Tanpa mitigasi yang tepat bukan tidak mungkin, sumber PDB (product domestic bruto) dari sektor pertanian akan menurun drastis dan ini menekan laju ekonomi. Dibanding triwulan I 2023 (year on year) sebesar Rp339,1 triliun, PDB sektor pertanian triwulan I 2024 telah terkoreksi -3,54 persen.

Di negara maju, sektor pertanian turut memacu pertumbuhan perekonomian yang pesat seperti Jepang. Namun tak sekedar menerapkan pertanian tradisional, peningkatan produktivitas tani juga telah memanfaatkan teknologi modern atau smart farming. Inovasi teknologi seperti ini seharusnya diterapkan pula petani-petani di Indonesia.

Karena kunci menjadi negara maju tahun 2045 sebagaimana visi Indonesia Emas pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yaitu pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen agar proyeksi GNI per kapita 2042 masuk ke level high income (berpendapatan tinggi) senilai US$ 18.790. Jika PDB pertanian melesat, tentu saja menopang pertumbuhan perekonomian yang lebih besar.

Namun kondisi saat ini rata-rata tren pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5 persen, seperti pada triwulan I 2024 hanya sebesar 5,1 persen secara year on year (yoy). Jika tetap di kisaran angka ini, pada 2042 proyeksi GNI per kapita hanya US$ 15.000. Artinya Indonesia tetap akan terjebak di fase MIT (middle income trap), sehingga sulit bagi negara ini mencapai visi Negara Maju 2045.

BACA JUGA:Perkembangan Teknologi Komputer: Dari Bobot Puluhan Ton ke Portabilitas Modern

BACA JUGA:Apa itu Smart Farming, Ini Penjelasannya

Pengamat IT Sumsel yang juga Programer dari Universitas MDP, Eka Puji Widiyanto mengatakan negara maju cepat meraih high income karena ditopang digitalisasi semua sektor. Tak hanya sektor sekunder atau tersier yang memanfaatkan teknologi informasi, baik itu perdagangan, industri manufaktur, finansial, transportasi, tetapi PDB cepat terungkit karena sektor primer-nya pun sudah menggunakan inovasi teknologi dan digitalisasi.

“Seperti Jepang, pertanian mereka semuanya sudah modernisasi atau based on digital technology, jadi wajar pertumbuhan ekonomi mereka tinggi. Nanam padi saja sudah pakai mesin. Petaninya sedikit, tapi produksi komoditinya puluhan ton per hektar,” terang Eka. Bahkan satu orang petani bisa mempunyai ratusan hektar sawah. Sekarang di Jepang justru sedang marak vertical farming atau menanam di lahan sempit.

Menurut Eka, masa tanam petani di negara maju sudah ada panduan waktunya. “Dari BMKG sudah ada prediksi akurat kapan musim tanam, kapan panen, berapa estimasi curah hujan dan sinar matahari yang bisa didapatkan, pupuknya tersedia umumnya pupuk organik sehingga tanah tetap subur dan bisa berkali-kali tanam. Semuanya karena mereka sudah menerapkan digital farming (e-farming) atau smart farming,” imbuhnya.

Jepang sangat terkenal dengan budaya hidroponik-nya, sementara Amerika Serikat sedari awal menerapkan machinery ke sektor pertanian. “Negara maju mendasarkan semuanya pada sektor pertanian yang kuat (fundamental), walau umumnya finansial pendorong ekonomi utama,” tuturnya. Karena itu, lanjut Eka, untuk menuju high income atau Indonesia maju, digitalisasi semua sektor termasuk pertanian sangat penting.

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah memulai program millenial smart farming atau penerapan digitalisasi pertanian dengan Internet of Things (IoT) di beberapa wilayah Indonesia. “Tapi namanya program baru, apakah semua petani kita mau beradaptasi. Petani kita sulit mengubah pola pikir, segini (pola konvensional) menghasilkan kenapa harus diubah. Umumnya kayak gitu, makanya pola pikirnya kita ubah dulu,” ujarnya.

BACA JUGA:Teknik Efektif Menyiang Rumput untuk Taman dan Pertanian yang Sehat, Boleh Juga Nih Dicoba!

BACA JUGA:KUR Banyak Sasar Pertanian, Tertinggi Penyaluran di OKI

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan