Gempa Turki dan Kewaspadaan Sumsel

SENIN, (6/2) lalu, Turki dilanda gempa sebanyak 2 kali dengan Kekuatan 7,5 dan 7,8 Skala Richter. Saking dahsyatnya gempa tersebut guncangannya terasa sampai ke Mesir, Yunani, Siprus, dan Georgia, Denmark hingga Greenland. Hingga hari selasa, 7 Februari 2023, jumlah korban meninggal yang tercatat mencapai 4.300 orang.

Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah karena banyak wilayah yang susah untuk dijangkau sehingga menyulitkan tim evakuasi untuk mencapainya. Berdasarkan hasil perkiraan yang dilakukan United States Geological Survey(USGS) atau dikenal sebagai Survei Geologi Amerika Serikat korban tewas akibat gempa di Turki hingga Suriah bisa mencapai 100 ribu orang. Terdapat 47 % peluang korban meninggal dunia tembus antara 100 dan 1.000 jiwa. Sementara 20 persennya lagi bisa menjangkau antara 10 ribu dan 100 ribu.

Namun, ada informasi yang menarik dari twitter pada kasus gempa Turki ini. Terdapat Tweet dari seorang Peneliti Belanda dari Solar System Geometry Survey (SSGEOS) yang Bernama Frank Hoogerbeets pada 3 Februari 2023 atau tepatnya 3 hari sebelum kejadian. Frank menuliskan status pada akun twitternya dengan tulisan: “Sooner or later there will be a ~M 7.5 #earthquake in this region (South-Central Turkey, Jordan, Syria, Lebanon). #deprem”.

Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, kurang lebih artinya: ”Cepat atau lambat akan ada Gempa berkekuatan 7,5 Skala Richter pada wilayah ini (Selatan-Turki Tengah, Jordania, Syria dan Libanon”. Ternyata perkiraaan dari Frank tersebut tepat sekali atau tidak meleset, mulai dari Skalanya hingga lokasinya. Saking menariknya informasi tersebut, hingga senin malam statusnya telah dilihat oleh 31 juta kali dan telah di Retweet sebanyak 32 ribu kali.

Sebagai seorang peneliti, yang dilakukan Frank bukanlah berdasarkan hasil cenayang atau mengira-ngira saja tanpa ada data dukung yang tepat. Hal yang ia sampaikan telah dilakukan berdasarkan pengamatan empiris serta menggunakan metode ilmiah. Jadi dapat disimpulkan suatu bencana alam berupa Gempa dapat prediksi walaupun tidak tahu kapan akan terjadinya.

Kondisi ini persis seperti apa yang terjadi pada Gempa Palu pada September 2018. Jauh-jauh hari, peneliti dari LIPI telah mewaspadai tentang Potensi Gempa besar pada Sesar Palukoro di Sulawesi Tengah. Pada 31 Mei 2017, atau kurang lebih 1 tahun sebelum kejadian, peneliti LIPI tersebut telah menyampaikan akan ada potensi gempa besar sehingga diperlukan kewaspadaan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan mitigasi sebelum Gempa tersebut menelan banyak korban.

Dari kasus diatas, baik itu gempa Turki maupun gempa di Palu, terdapat pelajaran penting tentang perlunya upaya kesiapsiagaan baik itu Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk melakukan mitigasi tehadap risiko bencana.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selaku pihak yang diberikan kewenangan Pemerintah Pusat untuk mengkoordinasikan dan mengkonsolidasikan upaya penanganan bencana yang ada di Indonesia telah menerbitkan Perpres No 87/2020 tentang Rencana Induk Penangana Bencana (RIPB) dan Rencana Aksi Penanganan Bencana (Renas PB) tahun 2020 – 2024.

Sejatinya RIPB dan Renas PB tersebut diharapan dapat menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah atas kemungkinan-kemungkinan bencana yang akan terjadi per wilayah yang ada di Seluruh Indonesia, sehingga pemerintah daerah telah mempersiapkan diri atas kemungkinan-kemungkinan bencana yang akan terjadi. Pada hakikatnya, Pemerintah Daerah diharapkan telah Menyusun Kajian dan peta risiko bencana, Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Kontinjensi.

Pada 2021 lalu, pada saat masih bertugas di Kantor Perwakilan yang berada di Pulau Sulawesi sana, kami pernah melakukan Evaluasi terhadap penanganan bencana dengan mengambil sampel Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota yang memiliki Risiko bencana terbesar.

Berdasarkan hasil evaluasi yang kami lakukan diperoleh hasil yaitu baik itu Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di daerah sana, telah melakukan penyusunan dokumen yang saya maksud diatas (Kajian dan peta risiko bencana, Rencana Penanggulangan Bencana dan Rencana Kontinjensi). Namun sayangnya penyusunan dokumen tersebut hanya dilakukan sekedar untuk memenuhi kewajiban saja tanpa adanya Tindakan yang konkret dari Pemerintah Daerah.

Padahal untuk Menyusun dokumen tersebut diperlukan anggaran yang tidak sedikit yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dalam bekerja sama dengan Pihak ke 3 untuk menyusunnya. Selain itu juga Dokumen tersebut dibuat asal-asalan dengan bekerja sama pada Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) yang tidak jelas kredibilitasnya.

Perlu waspadai, pada Sumatera Selatan sendiri terdapat Gunung Dempo di Pagaralam yang berstatus aktif. Selain itu juga terdapat Gunung aktif pada Provinsi disekitarnya yaitu Gunung Krakatau di Lampung dan Gunung Kerinci di Jambi yang berstatus aktif dan berpotensi menimbulkan gempa letika erupsi. Wilayah Sumatera Selatan juga berbatasan langsung dengan Provinsi Bengkulu yang kita kenal sebagai daerah yang sering mengalami gempa dan memiliki sesar segmen musi yang berpotensi menimbulkan gempa besar.

Berkaca pada Kasus Gempa Turki, Gempa Palu dan Evaluasi Penanganan Bencana tersebut, semoga Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, telah Menyusun Menyusun Kajian dan peta risiko bencana, Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Kontinjensi. Semoga juga dokumen tersebut disusun berdasarkan Kerjasama dengan pihak yang sudah dikenal kredibilitasnya dalam bidang bencana. (*) https://sumateraekspres.bacakoran.co/?slug=sumatera-ekspres-24-januari-2023/

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan