https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Hidup Berkah dan Sejahtera dengan Sistem Ekonomi Islam

Memasuki tahun 2023, semua tentu berharap kehidupan semakin baik, semakin berkah, semakin sejahtera. Semua orang ingin bahagia. Namun sayangnya tidak semua orang bisa meraihnya. Hanya yang kuat yang bisa mendapatkan. Yang lemah terpinggirkan. Inilah fakta ketidakadilan ekonomi yang kita alami.

Ini bukan semata-mata soal kapasitas diri. Tapi ini semua adalah buah dari sistem ekonomi kapitalisme liberal. Sistem yang memprioritaskan kaum kapitalis, yang punya modal, dibandingkan rakyat biasa. Sistem yang membebaskan siapapun, asal punya modal, untuk memiliki harta, termasuk harta kekayaan alam milik rakyat. Sistem yang tak berpatokan pada halal dan haram.

Bagaimana pandangan dan solusi islam tentang ekonomi ?, Sesungguhnya Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Sistem yang menjamin terwujudnya keberkahan dan keadilan. Ini bukan teori, tapi terbukti secara empiris dalam kurun waktu 1.300 an tahun lamanya.

Kemampuan sistem Islam mewujudkan kehidupan yang berkah dan sejahtera karena tiga hal: Pertama: Setiap Muslim, termasuk penguasanya, menjalankan aturan Islam didorong oleh ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bukan semata karena motif ekonomi, yakni mendapatkan keuntungan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Pedagang yang senantiasa jujur dan amanah (akan dibangkitkan pada Hari Kiamat) bersama para nabi, shiddiqiin dan para syuhada (HR at-Tirmidzi). Para penguasa juga diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menunaikan dan mengelola harta umat sebagai amanah dengan sebaik-baiknya. Demi menjaga kehati-hatian, Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, misalnya, sampai memperlakukan harta rakyat seperti harta anak yatim, yang tentu besar dosanya jika harta tersebut diambil secara zalim.

Kedua: Syariah Islam mencegah konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir orang atau elite tertenu. Kesenjangan sosial harus dihapuskan. Sebagai kepala negara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya, pernah membagikan harta rampasan Perang Badar hanya kepada kaum Muhajirin; bukan kepada kaum Anshar, kecuali dua orang saja di antara mereka yang memang dhuafa. Hal ini dilakukan sebagai pelaksanaan perintah Allah subhanahu wa ta’ala:…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr : 7).

Ketiga: Islam telah mengharamkan memakan harta orang lain secara zalim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (zalim), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridhaan di antara kalian (QS an-Nisa’ : 29).

Maka, setiap pengambilan harta dengan cara paksaan dan curang (ghasab) dan menyalahi hukum Islam adalah perbuatan zalim. Walaupun sedikit, jika diambil secara zalim, maka Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan pelakunya masuk surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda: “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya (secara tidak benar, red.) maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan dia masuk surga.” Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu arak (kayu untuk siwak).” (HR Ahmad).

Larangan ghashab ini berlaku umum, termasuk oleh penguasa. Dalam syariah Islam, negara diharamkan memungut harta—seperti berbagai pajak saat ini—tanpa keridhaan rakyat dan bertentangan dengan syariah Islam. Harta rakyat terlindungi oleh hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala.  Negara hanya berhak memungut zakat dari kaum Muslim, jizyah dari warga non-Muslim, serta kharaj bagi warga Muslim ataupun ahludz-dzimmah yang tinggal di tanah kharajiyah saja.

Dalam Islam, pungutan pajak (dhariibah) hanya dipungut ketika kas negara dalam keadaan krisis. Artinya, pajak bersifat temporer (sewaktu-waktu/tidak terus-menerus). Itu pun hanya diambil dari warga Muslim yang kaya saja. Non-Muslim tidak dikenai pajak. Ini sangat berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme yang dipungut secara zalim dari semua warga negara, miskin dan kaya, bahkan dipungut dari beragam barang dan jasa, dan bersifat terus-menerus.

Tentu pembaca masih merasakan bahwa sistem ekonomi kapitalis itu rusak dan menyengsarakan? BBM, LPG, dan minyak goreng, mahal. Padahal Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, tapi malah kaya utang. Hingga akhirnya, negara melepaskan tanggung jawabnya atas rakyat. Biaya kesehatan dan pendidikan mahal. Kita mesti menjaminnya sendiri. Bayar BPJS, misalnya. Padahal itu, dalam pandangan Islam, 100 persen tanggung jawab negara.

Inilah kerusakan ideologi kapitalisme. Dampaknya, semua rusak! Allah subhanahu wa ta’ala menggambarkan kerusakan itu dalam firman-Nya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).

Karena itu, mempertahankan ideologi kapitalisme sama saja mempertahankan kerusakan.  Maka, tak ada jalan lain bagi kita orang yang beriman, sebagai negara yang berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, untuk kembali kepada Islam. Menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan itu kita akan meraih kebahagiaan dan kesejahteraan. Lebih dari itu, penerapan syariah Islam adalah bukti ketaatan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Wallahu’alam bish showab. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan