Jurusan Kembali Lagi? Kontroversi dan Realita di Balik Pendidikan Mengenah Atas
Muhammad Isnaini Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah--
SUMATERAEKSPRES.ID - Wacana kembalinya sistem jurusan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) kembali mencuat dan menimbulkan perdebatan luas di tengah masyarakat. Setelah beberapa tahun terakhir pemerintah menghapus sistem ini melalui Kurikulum Merdeka—yang memberi keleluasaan bagi siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakatnya—kini muncul gagasan bahwa pembelajaran yang lebih terstruktur dengan jurusan seperti IPA, IPS, dan Bahasa perlu dihidupkan kembali.
Di balik wacana ini, terdapat berbagai kepentingan, pandangan, serta dampak yang tidak bisa diabaikan, baik bagi siswa, orang tua, pendidik, hingga perguruan tinggi.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, menyampaikan bahwa pemerintah sedang mengevaluasi kembali struktur kurikulum di SMA, termasuk mempertimbangkan untuk mengembalikan sistem jurusan. Alasan utama dari pertimbangan ini adalah munculnya kebingungan dari siswa dan guru terkait pemilihan mata pelajaran dalam Kurikulum Merdeka.
Banyak siswa yang kesulitan dalam merancang kombinasi pelajaran yang sesuai dengan minat dan rencana studinya ke depan. Dalam praktiknya, beberapa sekolah pun kesulitan menyediakan fleksibilitas yang dijanjikan karena keterbatasan tenaga pengajar dan sarana prasarana.
Pihak Kementerian menyampaikan bahwa jika jurusan dikembalikan, konsepnya akan tetap dikembangkan agar tidak terlalu kaku seperti pada sistem lama. Penjurusan yang akan diterapkan bisa berbentuk peminatan terpadu, yaitu siswa diarahkan pada kelompok bidang tertentu namun tetap memiliki ruang mengambil lintas mata pelajaran di luar minat utamanya. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan menjadi jalan tengah antara kebutuhan struktur dan fleksibilitas belajar.
BACA JUGA:BOCORAN! Inilah Daftar Jurusan Kuliah Yang Peluang Lulusnya Tinggi dalam UTBK SNBT
BACA JUGA:Jangan Pilih Sembarangan! 10 Jurusan UTBK SNBT Ini Bisa Gagalkan Mimpi Masuk PTN Favorit
Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa penjurusan mampu memberikan arah yang jelas bagi siswa dalam mempersiapkan diri ke jenjang pendidikan tinggi. Dalam pandangan mereka, tidak semua siswa mampu mengelola kebebasan sebagaimana yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka. Ada siswa yang justru kebingungan saat dihadapkan pada banyak pilihan mata pelajaran lintas bidang. Maka, penjurusan dipandang sebagai solusi untuk membantu mereka fokus dan memperdalam kompetensi di bidang tertentu sejak dini. Namun, pandangan ini bertolak belakang dengan semangat pendidikan holistik yang menekankan kebebasan eksplorasi dan perkembangan potensi anak secara menyeluruh.
Dalam teori pendidikan yang dikemukakan oleh John Dewey, pendidikan seharusnya menjadi proses pembentukan pengalaman yang hidup dan relevan dengan kondisi siswa. Penjurusan yang dilakukan terlalu dini berisiko membatasi ruang gerak siswa untuk mencoba berbagai bidang sebelum mereka benar-benar memahami bakat dan minatnya. Demikian pula, Howard Gardner melalui teori kecerdasan majemuk menekankan bahwa anak tidak bisa dikotakkan hanya ke dalam satu kategori kecerdasan seperti logika-matematika atau verbal-linguistik. Sistem jurusan yang sempit bisa jadi akan mengabaikan potensi anak di bidang lain, seperti seni, kinestetik, atau interpersonal.
Namun tidak bisa dimungkiri bahwa ada pendekatan konstruktivis dalam pendidikan—seperti yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky—yang menyatakan bahwa pembelajaran membutuhkan struktur agar pengetahuan bisa dibangun dengan baik. Dalam hal ini, penjurusan dapat berperan sebagai kerangka awal untuk membimbing siswa mendalami satu bidang dengan lebih serius. Dengan catatan, struktur tersebut bersifat lentur dan tetap memberi ruang penyesuaian.
Kembalinya jurusan tentu membawa implikasi besar bagi pendidikan tinggi. Perguruan tinggi mungkin akan semakin mengaitkan program studi dengan latar belakang jurusan siswa saat SMA, sehingga mobilitas lintas jurusan menjadi lebih terbatas. Hal ini bisa menjadi kendala bagi siswa yang baru menemukan minatnya di akhir masa sekolah dan ingin beralih arah saat kuliah. Selain itu, kampus juga perlu menyesuaikan kurikulum jika siswa yang masuk telah lebih terspesialisasi sejak SMA. Situasi ini bisa memperkuat jurang antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang justru kini cenderung menuntut lulusan dengan kemampuan lintas bidang dan pemikiran multidisipliner.
BACA JUGA:Penjurusan SMA Bantu Siswa Tetapkan Profesinya, Pelaksanaan Mulai Tahun Ajaran 2025/2026
Orang tua dan masyarakat pun terdampak secara langsung oleh kebijakan ini. Di sebagian kalangan, jurusan menjadi alat ukur prestise, di mana anak-anak yang masuk jurusan IPA sering dianggap lebih unggul dibandingkan anak-anak jurusan IPS atau Bahasa. Pola pikir seperti ini dapat menciptakan tekanan psikologis bagi anak serta menimbulkan ketegangan dalam hubungan orang tua dan anak, terutama ketika pilihan si anak tidak sesuai dengan harapan keluarga. Lebih jauh lagi, pengelompokan siswa ke dalam jurusan tertentu berpotensi menciptakan sekat-sekat sosial dan labelisasi yang tidak sehat di lingkungan sekolah.
