UM Palembang Gelar Seminar Reformasi Hukum Acara Pidana Menuju Keadilan yang Berkeadilan

Reporter: Adv |

Editor: Dede Sumeks |

Selasa , 25 Feb 2025 - 22:14

SUMATERAEKSPRES.ID - Bertempat di Ruang Gedung Faqih Usman Universitas Muhammadiyah (UM) Palembang menggelar seminar hukum bertemakan “Reformasi Hukum Acara Pidana menuju Keadilan yang Berkeadilan”, Selasa (25/2).

Seminar yang diikuti oleh Akademisi dari Fakultas Hukum berbagai Perguruan Tinggi di Kota Palembang, Mahasiswa Hukum, Praktisi hukum (Advokad/Pengacara, Polisi, Penyidik), Aktivis HAM dan Organisasi Masyarakat Sipil serta Pemangku Kepentingan menghadirkan tiga narasumber diantaranya Dr Saipudin Zahri SH MH (Dosen Prodi Hukum Magister Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah dan Mantan Hakim Tipikor AdHoc 2015-2020), Dr Erli Salia SH MH (Dosen Prodi Hukum Magister Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palembang dan staf ahli DPRD), dan Dr Suharyono SH MH (Dosen Prodi Hukum Magister Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palembang dan Advokat).

Rektor UM Palembang, Prof Dr Abid Djazuli SE MM, dalam sambutannya menegaskan dalam suatu negara hukum (Rechtstaat) salah satu unsur yang utama adalah bagaimana menerapkan hukum yang sama (equality before the law) bagi semua semua warga negara, oleh karena itu tema seminar hari ini sangatlah tepat untuk dibahas.

“Masalah penegakan hukum selalu menjadi janji politik dalam setiap pergantian pemerintahan. Aparatur kepolisian yang selalu bersentuhan langsung dengan penerapan hukum acara pidana selalu dituntut untuk menciptakan hukum yang adil dan berkeadilan.

Semoga kegiatan seminar yang dilaksanakan hari ini akan memberikan rekomendasi bagi pembentukan perundang-undangan bagaimana menciptakan Hukum Acara yang Berkeadilan,” tegasnya.

Wakil Rektor IV, Dr Suroso PR SAg MPdI menambahkan, bahwa kegiatan ini baru pertama kali diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Palembang.

“Ini baru pertama kali kita selenggarakan, dengan tema Reformasi Hukum Acara Pidana menuju Keadilan yang Berkeadilan,” ujarnya.

Seminar hukum yang digelar ini untuk menggali potensi dari akademisi yang berkaitan dengan persoalan KUHP yang berkembang saat ini.

Jadi dalam seminar yang diadakan ini membahas mengenai permasalahan hukum yang ada, dan bagaimana cara menerapkan Keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

“Tujuan utama kita adakan ini tidak lain menggali potensi akademisi,” tambahnya.

“Kita harapkan kegiatan ini dapat bermanfaat dan mendapatkan pemikiran yang baru mengenai permasalahan hukum yang ada,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumsel Ridwan Hayatuddin menuturkan, bahwa seminar ini mengulas permasalahan akan adanya pembaruan tentang KUHP.

um palembang gelar seminar reformasi hukum acara pidana menuju keadilan yang berkeadilan                             sumateraekspres.id - bertempat di ruang gedung faqih usman universitas muhammadiyah (um) palembang menggelar seminar hukum bertemakan “reformasi hukum acara pidana menuju keadilan yang berkeadilan”, selasa (25/2).
seminar yang diikuti oleh akademisi dari fakultas hukum berbagai perguruan tinggi di kota palembang, mahasiswa hukum, praktisi hukum (advokad/pengacara, polisi, penyidik), aktivis ham dan organisasi masyarakat sipil serta pemangku kepentingan menghadirkan tiga narasumber diantaranya dr saipudin zahri sh mh (dosen prodi hukum magister hukum pascasarjana universitas muhammadiyah dan mantan hakim tipikor adhoc 2015-2020), dr erli salia sh mh (dosen prodi hukum magister hukum pascasarjana universitas muhammadiyah palembang dan staf ahli dprd), dan dr suharyono sh mh (dosen prodi hukum magister hukum pascasarjana universitas muhammadiyah palembang dan advokat).  
baca juga:tingkatkan kualitas hidup pasien hemodialisis, rs pusri gelar bakti sosial dan seminar awam
baca juga:mahasiswa ekonomi syariah um palembang gelar seminar, ajak kelola sampah jadi produk bernilai
rektor um palembang, prof dr abid djazuli se mm, dalam sambutannya menegaskan dalam suatu negara hukum (rechtstaat) salah satu unsur yang utama adalah bagaimana menerapkan hukum yang sama (equality before the law) bagi semua semua warga negara, oleh karena itu tema seminar hari ini sangatlah tepat untuk dibahas. 
“masalah penegakan hukum selalu menjadi janji politik dalam setiap pergantian pemerintahan. aparatur kepolisian yang selalu bersentuhan langsung dengan  penerapan hukum acara pidana selalu dituntut untuk menciptakan hukum yang adil dan berkeadilan.
semoga kegiatan seminar yang dilaksanakan hari ini akan memberikan rekomendasi bagi pembentukan perundang-undangan bagaimana menciptakan hukum acara yang berkeadilan,” tegasnya.
wakil rektor iv, dr suroso pr sag mpdi menambahkan, bahwa kegiatan ini baru pertama kali diselenggarakan di universitas muhammadiyah palembang. 
“ini baru pertama kali kita selenggarakan, dengan tema reformasi hukum acara pidana menuju keadilan yang berkeadilan,” ujarnya.
seminar hukum yang digelar ini untuk menggali potensi dari akademisi yang berkaitan dengan persoalan kuhp yang berkembang saat ini.
jadi dalam seminar yang diadakan ini membahas mengenai permasalahan hukum yang ada, dan bagaimana cara menerapkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
“tujuan utama kita adakan ini tidak lain menggali potensi akademisi,” tambahnya.
“kita harapkan kegiatan ini dapat bermanfaat dan mendapatkan pemikiran yang baru mengenai permasalahan hukum yang ada,” ungkapnya.
sementara itu, ketua pimpinan wilayah muhammadiyah (pwm) sumsel ridwan hayatuddin menuturkan, bahwa seminar ini mengulas permasalahan akan adanya pembaruan tentang kuhp.
“judul semintar ini kita dengar aneh tapi memiliki makna keadilan yang tidak semata-mata formalitas, tapi bagaimana dengan kuhp yang baru yang kita minta masukan dari narasumber.
jadi kita sangat menyambut baik dengan kegiatan ini, sebagai partisipasi dan tanggung jawab kita terhadap kepentingan rakyat, masyarkat dan negara kita,” bebernya.
dr mulyadi tanzili sh mh ketua program studi mh pps um palembang mewakili tim penyusun rekomendasi hasil seminar menjelaskan kegiatan seminar tersebut dilatarbelakangi oleh hukum acara pidana sebagai pilar utama dalam penegakan hukum yang adil.
kuhap yang saat ini berlaku sudah berusia lebih dari 40 tahun dan dianggap perlu direformasi agar lebih sesuai dengan prinsip keadilan restoratif serta hak asasi manusia.
karena itu, dari sini kita bisa menganalisis urgensi reformasi kuhap dalam sistem peradilan pidana, mengidentifikasi kendala dalam implementasi hukum acara pidana saat ini, menawarkan solusi konkret untuk memastikan keadilan yang lebih inklusif dan humanis, serta menyoroti peran teknologi dalam proses hukum acara pidana.
“dari seminar ini, output yang diharapkan menjadi rekomendasi akademis dan praktis untuk pembaruan kuhap, publikasi ilmiah atau policy brief bagi pemerintah, juga sebagai ajang diskusi dan jejaring antar-pemangku kepentingan hukum,” tutur mulyadi.
karena itu beberapa tema yang kita bahas mengenai kelemahan dan tantangan kuhap dalam praktik peradilan modern, prinsip fair trial dalam sistem peradilan pidana indonesia, restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana, peran teknologi dalam proses hukum acara pidana, dan pembaruan kuhap: antara keadilan substantif dan prosedural.
dari hasil seminar, rekomendasi yang diusulkan sebagai berikut:
1. ruu kuhap yang terbaru perlu dipublikasikan secara luas dan mudah diakses oleh semua pihak. hal ini penting karena ruu kuhap tidak hanya berdampak pada penegak hukum, seperti polisi, jaksa, advokat, dan hakim, tetapi juga menyangkut seluruh rakyat indonesia yang berlandaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kehidupan masyarakat yang beradab.
2. prinsip  check and balance serta diferensiasi fungsional harus lebih diutamakan dibandingkan penerapan prinsip dominis litis secara langsung. oleh karena itu, fungsi penyelidikan dan penyidikan harus tetap menjadi kewenangan independen kepolisian, begitu pula fungsi penuntutan harus tetap berada dalam independensi kejaksaan.
3. untuk menerapkan prinsip check and balance serta menjaga independensi antara kepolisian dan kejaksaan, ketentuan dalam ruu kuhap yang berpotensi melemahkan independensi penyidikan polri—seperti yang tercantum dalam pasal 38, pasal 39, pasal 40, pasal 41, pasal 44, pasal 50, pasal 72, pasal 95, pasal 111, pasal 112, pasal 120, pasal 145, dan pasal 200—perlu dikaji lebih lanjut. proses pengkajian ini harus melibatkan berbagai pihak, terutama kepolisian, sebagai institusi yang terdampak langsung oleh rencana revisi kuhap.
4. agar fungsi penyidikan kepolisian tetap independen dengan menerapkan prinsip otonomi terbatas, pembentuk undang-undang harus bebas dari distorsi dan stigma terhadap citra institusi yang dapat berubah sewaktu-waktu. oleh karena itu, arah dan perbaikan kuhap ke depan harus dilakukan secara netral, dengan mengutamakan hak asasi manusia serta penegakan hukum yang berkeadilan.
5. pelemahan independensi penyidikan polri dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, seperti pengawasan, pemberian petunjuk, serta pengarahan kepada penyidik polri oleh jaksa, pengambilalihan kewenangan penyidikan tindak pidana umum oleh jaksa, serta kontrol jaksa atas penggeledahan dan penahanan yang dilakukan penyidik polri. selain itu, kewenangan jaksa untuk menghentikan penyidikan tanpa persetujuan penyidik polri serta pengawasan terhadap berita acara pemeriksaan (bap) oleh jaksa juga menjadi isu yang perlu dikaji. seluruh ketentuan tersebut harus diperbaiki sebelum dibahas dan disetujui oleh dpr bersama pemerintah.
6. perbaikan ketentuan tersebut dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan fungsi penyidikan polri sebagaimana yang telah lama diterapkan dalam praktik. dalam hal ini, penyidikan tindak pidana umum tetap menjadi kewenangan penuh polri, sedangkan untuk tindak pidana tertentu—seperti korupsi, narkotika, pelanggaran ham berat, dan terorisme—menjadi wewenang jaksa. namun, dalam pelaksanaannya, jaksa tetap harus berkoordinasi dengan polri sebagai penyidik utama.
7. prinsip check and balance antara polri dan kejaksaan tidak seharusnya diterapkan dengan menempatkan polri seolah-olah sebagai institusi di bawah kejaksaan. sentralisasi kewenangan penyidikan, penggeledahan, dan penahanan di tangan kejaksaan, termasuk kewenangan menentukan penghentian atau kelanjutan perkara, harus dikembalikan sesuai fungsi asalnya. polri harus tetap berperan sebagai penyidik yang independen, begitu pula jaksa sebagai penuntut yang independen, dengan mekanisme pengawasan yang bersifat horizontal, di mana kedua institusi saling mengawasi secara setara.
8. kesalahan dalam syarat dan prosedur penyidikan, seperti penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan penyitaan, sebaiknya tidak sepenuhnya dinilai oleh kejaksaan, karena hal itu justru dapat menyebabkan penumpukan kekuasaan. oleh karena itu, kewenangan tersebut harus diberikan kepada pengadilan, baik melalui pembentukan hakim pemeriksa pendahuluan maupun perbaikan mekanisme praperadilan yang telah berjalan. selain itu, perlu dilakukan harmonisasi dengan putusan mahkamah konstitusi terkait hasil uji materi praperadilan.
9. perbaikan tata kelola dan reformasi penyidikan polri sebaiknya tidak dilakukan dengan menjadikan jaksa sebagai pengawas penyidik polri, karena jaksa sendiri berada di bawah kendali serta pengangkatan presiden, sehingga berisiko terhadap politisasi kasus. sebagai alternatif, upaya perbaikan dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas sdm kepolisian, pengawasan oleh kompolnas, atau pembentukan lembaga independen untuk mengatasi kelemahan dalam proses penyidikan.
10. pasal-pasal yang telah dijelaskan sebelumnya perlu direvisi guna menjamin independensi kewenangan penyidikan oleh polri serta memastikan bahwa kewenangan kejaksaan tetap terbatas pada fungsi penuntutan dan tidak melampauinya.
baca juga:seminar desa bersinar, awal sinergi bersih dari narkoba, forkopimda-semua pemdes muba komitmen anti narkoba
baca juga:komitmen pemkab muba perangi narkoba, melalui seminar desa bersinar, bersih dari narkoba
11. ruu kuhap harus disusun dengan mengedepankan prinsip check and balance antara aparat penegak hukum, yakni polri dan kejaksaan, tanpa mengurangi kewenangan polri dalam proses penyidikan. selain itu, pembaruan kuhap di masa depan juga perlu memastikan keseimbangan kewenangan dalam penyelesaian tindak pidana, terutama bagi kasus yang memenuhi syarat untuk diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
“rekomendasi dari seminar ini diharapkan dapat menjadi bahan telaah bagi pembentuk undang-undang, komisi iii dpr ri, pemerintah, dan organisasi masyarakat lainnya, demi pembangunan dan penegakan hukum pidana yang lebih baik di masa mendatang,” ujar mulyadi. (adv)