https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Irmas Memudar di Kala Ramadan

PALEMBANG - Ikatan Remaja Masjid (Irmas) pada dekade tahun 1980-1990-an merupakan soko goro gerakan anak muda ke masjid-masjid. Lewat Irmas, berbagai kegiatan masjid, termasuk tradisi lama dihidupkan, terutama pada bulan Ramadan. Para remaja melakukan kegiatan pesantren kilat untuk mengajar anak-anak kecil TPA, serta menggalakkan buka puasa bersama di masjid. Pawai obor dilombakan antar-kelompok TPA atau antar-masjid.

Lomba hafalan surat pendek, membaca Alquran, azan, puisi tema Ramadan, menyanyi lagu rohani, kaligrafi, dan lainnya. "Di bawah bimbingan pengurus, Irmas menjadikan kegiatan Ramadan dulu jadi kenangan mengesankan," kata Dedi Irwanto, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kota Palembang, kemarin.

Dikatakan, kehadiran Irmas tahun 1980-90-an menjadikan masjid hidup, terutama di bulan puasa. Hidupnya masjid selama Ramadan juga membuat masyarakat luas di Kota Palembang menghidupan kembali berbagai tradisi Ramadan masa lampau. Salah satunya menyambut Ramadan lewat tradisi sedekah ruwahan. BACA JUGA : Pastikan Keamanan Suplai BBM-LPG

Sedekah yang berasal dari kata arwah untuk mengirim doa pada leluhur yang sudah meninggal. Sedekah ruwahan sudah ada sejak masa Kesultanan Palembang. Tradisi lain yang dulu sangat hidup di Kota Palembang adalah pembersihan diri dan lingkungan. Masyarakat Kota Palembang menjelang puasa Ramadan membersihkan diri dengan mandi di sungai

besar. Air sungai itu dianggap suci karena dianggap air mengalir dari Mekah.

Mandi bersih ini disebut “padusan” atau “mandi aek Mekah”. Masyarakat Palembang pada bulan Ramadan juga dulu melakukan tradisi “nyerap aek”. Air dari

sungai diambil dan dimasukkan ke gentong besar di rumah sebagai persediaan air selama Ramadan. Air yang diserap ini dianggap sebagai air suci.

Tradisi bersama yang dilakukan oleh masyarakat Palembang adalah “Mersihke Guguk”. Tradisi ini dulu dilakukan jelang Ramadan, melibatkan seluruh warga guguk. Guguk adalah sistem kesatuan kampung di Palembang zaman dulu. Misalnya guguk Suro (32 Ilir), guguk Haji Akil (4 Ulu).

Selain itu pada tahun 1990-an masih ada tradisi salat Tarawih di rumah-rumah penduduk. Terutama orang yang dianggap paling kaya atau berpengaruh di guguk tersebut. "Satu lagi tradisi Ramadan yang hilang di Kota Palembang adalah apa yang dikenal dengan istilah asmara subuh,” ucapnya. Tahun 80-90, salat Subuh di masjid-masjid sering dipenuhi anak-anak muda. Selesai salat mereka biasanya, anak-anak Irmas, berjalan setelah subuh bersama. Ke Kambang Iwak atau sekitar Ampera. Rombongan Irmas yang satu akan bertemu dengan rombongan Irmas masjid lainnya. Mereka kenalan satu sama lain.

Kalau sudah akrab, selama Ramadan akan terus bertemu setelah salat Subuh. Sehingga zaman dulu tak jarang asmara subuh menjadi ajang mencari jodoh. "Sayangnya tradisi-tradisi ini sudah mulai memudar di Kota Palembang, terutama karena hilangnya kegiatan Irmas-Irmas di berbagai masjid," jelasnya. Anak-anak milenial harusnya tumbuh sebagai pengurus dan meramaikan masjid. Sekarang sibuk dengan dunianya sendiri. Gadget dan  kegiatan medsos lebih menarik dibandingkan menjadi pengurus irmas atau pendukung asmara subuh. (yud/fad/)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan