Cegah Banjir, Perlu Pembangunan Terstruktur
PALEMBANG - Isu Provinsi Sumsel darurat banjir menjadi hangat diperbincangkan, apalagi pascabencana banjir bandang yang menghanyutkan ratusan rumah di Kabupaten Lahat dan beberapa kabupaten lainnya di Sumsel beberapa waktu lalu. Hal itu menjadi perhatian serius akademisi serta pemerhati lingkungan yang menilai perlu upaya mitigasi supaya kejadian serupa tak terulang lagi.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Prof Dr Ir A Muslim Magr, mengatakan, agar bencana itu tak terulang, perlu mencari jalan keluar sehingga air menjadi sumber kehidupan, bukan malah petaka bagi umat manusia. "Ini tugas kita untuk memikirkannya. Jadi mitigasi dan pembangunan terstruktur mengatasi banjir harus dilakukan secara berkelanjutan. Jangan hanya dibicarakan saat ada musibah banjir saja," katanya pada webinar nasional dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia 2023, Selasa (21/3).
Beberapa waktu lalu terjadi banjir bandang luar biasa terjadi di beberapa wilayah Sumsel, dalam waktu hampir bersamaan. Itu artinya ada sesuatu yang salah sehingga mengakibatkan banjir bandang. "Air itu kalau dikelola dengan baik, sekalipun jumlah air yang tumpah dari langit banyak bisa ditampung, jika ada bantaran sungai yang lebarnya dua kali lipat dari lebar sungai tersebut," ujarnya. BACA JUGA : RS Siloam Sriwijaya Salurkan Bantuan untuk Korban Banjir Lahat
Artinya apa? Bantaran Sungai tidak boleh dibangun dan diapa-apakan karena itu sangat berguna menampung air jika seandainya air yang datang menjadi 2-3 kali lipat dari biasanya. "Itu yang saya lihat di Jepang, berbeda dengan di Sumsel. Bantaran sungai hampir tidak ada, sementara di pinggiran sungai sendiri dibangun gedung, rumah, dan lainnya sehingga sungai menjadi sempit," terangnya. Karenanya ketika terjadi hujan deras, ditambah lagi hutan yang gundul mengakibatkan semua air yang turun dari langit kembali ke sungai.
Dosen Fakultas Pertanian Unsri, Dr Momon Sodik Imanuddin SP MSc, mengatakan, dalam implementasi kebijakan menangani masalah banjir, tentu semua pihak harus terlibat, baik akademisi, pemerhati lingkungan, juga penyelenggara negara. "Tanah longsor dan banjir akan terus kita gali dan kaji untuk mengedukasi dan memberikan masukan ke pemerintah dalam mengatasi banjir," imbuhnya.
Menurutnya, saat ini Sumsel bukan hanya bagaimana bersiap-siap menghadapi banjir, tapi bagaimana ke depan berupaya melakukan rehabilitasi dan mitigasi. "Langkah teknis apa yang harus dilakukan dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Ini harus bisa dijabarkan oleh kita yang berada di daerah, kemudian provinsi, sampai harus disuarakan ke pusat," tuturnya.
Dosen Fakultas Teknik Unsri, Prof Dr Ir Dinar Dwi Anugerah Putranto, mengatakan, permasalahan banjir dari tahun ke tahun semakin meningkat karena rusaknya ekosistem wilayah DAS. "Esensi terjadinya banjir karena tingginya curah hujan dan rusaknya penutupan lahan, sehingga menimbulkan besarnya limpasan air permukaan yang tak dapat ditampung oleh sungai,” jelasnya.
Menurutnya, limpahan yang terjadi akan memproduksi gerusan yang besar, tergantung dari lamanya waktu curah hujan dan kemiringan lereng maupun panjang lereng dan jenis tanahnya. "Jadi diperlukan pengembangan model EK-I dan EK-m yang bisa digunakan sebagai dasar pemodelan fisik kehilangan tanah dan analisis sedimentasi," bebernya.
Selain itu perlu mengintegrasikan seluruh unsur tematik dari pemanfaatan lahan pada wilayah DAS ke dalam evaluasi lahan, analisis hidrologi, dan hidrolika untuk melihat kondisi struktural lingkungan DAS.
Kepala BPDAS HL Musi, Dr Sulthani Aziz MSc mengatakan soal bencana banjir yang terjadi di Sumsel, berdasarkan analisa terlihat karakteristik catchment area DAS Lematang secara geomorfologi merupakan wilayah rombakan dari pegunungan di atasnya, memberikan informasi kerawanan terhadap erosi dan longsor lahan. "Kemudian lahan pertanian mendominasi areal hulu DAS Lematang menyebabkan kerapatan vegetasi berkurang, sehingga erosi dan limpasan rawan terjadi," ujarnya.
Menurutnya, faktor curah hujan yang terjadi kurun waktu lama juga jadi pemicu terjadinya limpahan dalam jumlah besar di wilayah hulu yang menyebabkan terjadinya banjir bandang. "Jejak banjir bandang masa lampau memberikan informasi bahwa wilayah terdampak merupakan ekosistem sungai di masa lalu," pungkasnya. (nsw/fad)