Mengenal Tradisi Lebak Lebung OKI yang Bertahan Sejak 1474
KAYUAGUNG - Lelang lebak lebung sudah menjadi tradisi turun temurun bagi masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Bahkan, keberadaannya sudah ada sejak masa pemerintahan Morge Siwe atau pemerintahan marga pada tahun 1474 silam yang bisa membuat undang-undang. Karena satu pemerintahan marga itu membawahi beberapa dusun.
Tokoh budayawan OKI, Drs H Syaiful Ardand (79) mengatakan, dulu lelang lebak lebung ini dikelola pemerintahan marga. Dimana hasilnya untuk kebutuhan rumah tangga marga itu sendiri. Biasanya, lelang tersebut dilakukan oleh pemerintahan marga setiap tahun.
“Jadi hasil lelang lebak yang dilakukan setiap tahunnya untuk kebutuhan masyarakat yang tinggal di sana. Misalnya, pemerintahan marga Kayuagung,” katanya kepada Sumatera Ekspres. Menurut Syaiful, hasil lelang yang didapat setiap tahunnya itu sangat cukup memenuhi apa yang dibutuhkan. Termasuk juga untuk membangun balai yang ada di wilayah tersebut. Baca juga : Budayawan Palembang Sebut Lato-Lato Bukan Permainan Tradisional, Alasannya.. Baca juga : Bertekad Hidupkan Budaya dan Bahasa Palembang
Setelah proses lelang. Barulah dilakukan penangkapan ikan bersama-sama.“Karena hasil ikannya banyak dan penangkapan yang dilakukan dengan peralatan sederhana,” tuturnya. Saat melaksanakan lelang lebak lebung, sambunganya, tidak ada ritual khusus yang dilakukan.
“Hanya warga yang tinggal disekitar mengetahui karena ditandai dengan pemukulan canang atau gong. Dan, ini ada di setiap dusun yang bisa di dengar semua masyarakat yang tinggal di sana,” paparnya.
Kemudian warga yang terlibat dalam kegiatan ini menggunakan peralatan sederhana seperti tajur, serok ikan, serta peralatan lainnya menangkap berbagai jenis ikan mulai dari patin, tapa, gabus dan jenis lainnya dengan ukuran sangat besar. “Tapi kalau sekarang tidak lagi terdengar dapat ikan tapa,” imbuhnya. Baca juga : Tradisi Antar Dewa Dapur Jelang Imlek, Maknanya Mendalam..
Hasil lelang ini, lanjut Syaiful, kemudian dikelola secara transparan oleh pemerintahan marga yang ada di sana. Masyarakat serta muda-mudi diajak untuk menjaga lebak lebung agar ekosistem disana tidak rusak dan jenis ikan tetap berkembang dan aturannya ini sangat tegas.
“Tidak seperti sekarang masyarakat acuh untuk menjaga sungai dan lebak. Bahkan ada yang ingin mencari ikan dengan cara mudah seperti di putas dan di setrum,” kata Syaiful. Sayangnya, setelah Pemerintahan Marga diganti dengan UU No 79 dengan pemerintahan desa, Syaiful tidak tidak lagi mengikuti perkembangannya. Walaupun hasil dari lelang lebak lebung ini dikembalikan kepada pemerintahan desa.
“Saya sempat tidak menyetujui tapi banyak batas dusun. Dan saya juga tidak lagi mengikuti lagi perkembangannya ini terakhir. Bahkan pelaksanaan lelang dengan kecanggihan teknologi diumumkan lewat surat saja,” tuturnya.
Dirinya mengaku kurang paham siapa tuan rumahnya. Apakah di tingkat desa atau kelurahan? Karena yang memiliki lelang lebak lebung apa kembali kecamatan karena kecamatan tidak memiliki kas kecamatan seperti kas Pemerintahan Morgesiwe.
Sebab itu, Syaiful meminta generasi sekarang agar lebih peduli lagi dengan kelestarian ekosistem yang ada dalam lebak lebung yang menjadi sumber pendapatan daerah. “Karena sudah ada beberapa lokasi yang ditimbun dan dibangun rumah sehingga mengakibatkan ekosistem didalamnya punah,” ungkapnya.
Terpisah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten OKI, Hj Aryanti SSTP mengungkapkan, memang lelang lebak lebung yang dilakukan setiap tahunnya di OKI sudah menjadi budaya. Sebab itu, hal ini harus segera dilestarikan. “Harus dijaga dan dilestarikan bersama. Khususnya bagi pemuda,” ungkapnya.
Apalagi, tradisi lelang lebak lebung sendiri sudah masuk dalam warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang diberikan belum lama ini. “Beberapa bulan lalu kami memang sudah mendapatkan sertifikat dan dipatenkan,” pungkas Aryanti. (uni) https://sumateraekspres.bacakoran.co/?slug=sumatera-ekspres-10-januari-2023/10/