Makin Marak di Indonesia, Ini Alasan Anak Muda Pilih 'Kumpul Kebo'
FENOMENA: Saat ini feomena 'Kumpul kebo' Marak di Indonesia, Ini Wilayah Terbanyak. FOTO: Jawapos--
"Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3
persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja,
dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal," tambahnya.
Yulinda menyatakan, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat ‘kumpul kebo’ adalah perempuan dan
anak.
Dalam konteks ekonomi, kata dia, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur
dalam hukum terkait perceraian.
Dalam kohabitasi, ayah tidak punya kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.
"Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial,
alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya," papar Yulinda.
Sedangkan dari segi kesehatan, ‘kumpul kebo’ dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental.
Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan
pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.
BACA JUGA:Gen Z Berpeluang Berikan Kontribusi
BACA JUGA:Gen Z Sumbang Kredit Macet, Tingkat Wanprestasi Lebih dari 90 Hari