Listrik Juara
AKHIRNYA lahir juga EPC Company yang andal di bidang kelistrikan: PT Wijaya Karya. Pekan lalu, Wika mendapat penghargaan best of the best EPC company di ajang IBEA.
Itulah satu-satunya lembaga pemberi penghargaan untuk prestasi di bidang kelistrikan nasional: Indonesia Best Electricity Award. Yang selama tiga tahun absen karena pandemi Covid-19.
Memang pernah lahir beberapa perusahaan kontraktor pembangun pembangkit listrik. Tapi semua tertatih-tatih. Kualitasnya juga mengecewakan. Akibatnya pekerjaan EPC di dalam negeri didominasi perusahaan EPC dari Tiongkok. Sebelum itu didominasi oleh Jepang. Sebelumnya lagi didominasi Eropa dan Amerika.
Wika sudah mampu membangun 2x65 MW. Di Kalsel. Kini sedang membangun 2 x 50 MW. Sudah pula memenangkan tender untuk 4 proyek berikutnya. Kalau bangkit yang berbahan gas dan solar sudah banyak. Bahkan Wika sudah mendapat proyek membangun geothermal. Di Lumut Balai, Sumatera Selatan (Sumsel). Tidak jauh dari Lahat.
Geothermal Lumut Balai tahap 2 itu milik Pertamina. Besarnya 2 x 55 MW. Tahap satunya sudah selesai. Kontraktornya Jepang semua. Dengan Wika mengerjakan tahap 2 berarti hebat sekali. Apalagi kalau kualitasnya nanti sama dengan tahap 1. Toh sama-sama 2 x 55 MW.
Memang Wika belum pernah membangun yang 100 MW, apalagi yang 300 MW. Sedang EPC Tiongkok sudah mampu membangun unit yang 1000 MW. Tapi perjalanan memang harus dimulai dari yang kecil dan sedang. Begitulah hidup. Tidak bisa langsung dewasa.
Medco juga mendapat penghargaan: di bidang pembangkit listrik renewable energy. Saya menduga itu karena geothermal Sarulla di tanah Batak. Besarnya 300 MW. Bekerjasama dengan Mitsubishi Jepang. Berarti geothermal Sarulla dianggap paling baik dan paling efisien. Terutama dibanding dengan geothermal lain yang umumnya dimiliki grup Pertamina.
Saya pernah ke Sarulla. Beberapa kali. Di Tapanuli. Tiga jam dari Balige. Persis tengah-tengah antara Toba dan Sibolga. Yakni ketika pemenang tender Sarulla tidak kunjung membangun. Padahal waktu itu Sumut krisis listrik luar biasa.
BACA JUGA : Rina: Suami Saya Berobat Jalan
Maka Sumut kini penghasil green energy murah terbesar di Sumatera: dari geothermal dan tenaga air. Dan masih sangat banyak potensi geothermal dan tenaga air lainnya di sana. Meski lebih kecil. Kecil-kecil tapi banyak sekali. Nasi sepiring asalnya juga dari sebutir upo.
PT PAL, perusahaan pembangun kapal milik BUMN itu, juga mendapat penghargaan listrik: apa hubungannya? PT PAL menang di kategori penyedia sarana listrik yang penting. Dugaan saya: itu karena PT PAL mampu membangun pembangkit listrik terapung. Saya tahu sendiri. Saya pernah meninjau saat pembuatan kapalnya yang hampir selesai. Kapal yang pertama. Ternyata kini PT PAL sudah membangun tiga pembangkit listrik terapung. Besar-besar. Dengan bahan bakar minyak atau gas.
Di mana ada krisis listrik kapal itu bisa dilayarkan ke sana. Sandar di dermaga. Listrik pun menyala. Dulu pembangkit terapung seperti itu selalu impor. Terakhir, yang heboh itu, didatangkan dari Turki. Dua buah. Anda tidak mendengar kehebohan itu. Hebohnya memang hanya di bawah permukaan.
Ini juga penting: cucu PLN mendapat penghargaan di bidang O&M terbaik: PJBS. Anda sudah tahu: tidak semua pemilik pembangkit listrik mau menjalankannya sendiri. Banyak yang menyerahkannya ke perusahaan lain. Yakni perusahaan yang bidangnya khusus menjalankan pembangkit dan merawatnya. PJBS adalah anak perusahaan PJB. PJB adalah anak perusahaan PLN. Semua pembangkit PLN dimiliki oleh PT Pembangkitan Jawa Bali atau PT Indonesia Power. Dua-duanya anak PLN.
Kini PJB diubah namanya menjadi Nusantara Power. Berarti ada Indonesia Power dan Nusantara Power. Dua-duanya tidak hanya memiliki pembangkit sendiri yang besar-besar. Mereka juga memiliki saham di banyak pembangkit listrik swasta. Meski PJB sudah berubah nama, PJBS (S=Services) tetap PJBS. Saya baru tahu bahwa dirut PJBS kini dijabat seseorang yang sudah lama saya cari.
BACA JUGA : MA Perbaiki Putusan Banding, Dodi Reza Kembali Divonis Enam Tahun Penjara
Saya ingat sekali nama itu. Yakni ketika turbin di salah satu pembangkit listrik di Belawan, Medan, rusak. Medan lagi krisis listrik. Pembangkitnya rusak pula. Untuk memperbaikinya harus ditangani perusahaan Jerman: Siemens. Bahkan ada kemungkinan turbin itu harus dikirim dulu ke Jerman. Diperbaiki di sana. Menangis.
PLN itu isinya lulusan terbaik dari semua perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Sudah ratusan pula yang mendapat tambahan pendidikan di luar negeri. Turbin rusak tidak bisa diatasi sendiri. Saya pun minta agar yang punya spesialisasi turbin dilihat. Siapa yang punya kemampuan memperbaiki Belawan itu. Ternyata ada. Hanya satu orang. Anak muda. Satu-satunya. Namanya: Teguh Wijayanto .
Saya belum pernah bertemu langsung anak itu. Pun sampai saya bukan siapa-siapa lagi. Atau pernah bertemu tapi saya yang lupa. Tapi nama itu tidak bisa hilang dari ingatan: ia pahlawan Belawan. Ia Teguh Wijayanto. Baru belakangan saya dengar nama itu menjadi dirut PJBS. Kantornya di Surabaya pula. Kapan-kapan saya ingin bertemu. Tentu kalau ada sumur di ladang. Itu pun kalau sumurnya belum diganti pipa. BACA JUGA : 18 Anak Panti Bungkam, Dites HIV
Lalu siapa pembangkit listrik non-renewable terbaik? Seluruh wanita Indonesia harus bangga dengan pemenang ini: PT Sumber Segara Primadaya. Pemiliknya seorang wanita. Baik pula hatinya. Pekerja keras. Suaminya seorang mualaf: Ibu Dewi. Anda sudah tahu siapa dia. Itulah yang belum lama diberitakan di Bloomberg sebagai wanita terkaya no. 1 di Indonesia saat ini.
Dewi lewat SSP memiliki pembangkit listrik terbaru: satu unit saja 1.000 MW. Masih punya lagi yang 600 MW. Lalu beberapa lagi yang 300 MW. Dan yang hebat semua pembangkitnya sangat efisien. PJBS yang menangani sebagian O&M-nya. Wanita, hebat, bergeraknya di bidang listrik pula, alangkah langkanya. Laki-laki seperti saya pun harus hormat setinggi-tingginya. (*)