Akibat Pemilih yang Pragmatis

Amrah Muslimin-ist-

SUMATERAEKSPRES.ID - Banyaknya pejabat dan politisi yang memboyong anggota keluarganya maju sebagai kepala daerah kini sudah menjadi  fenomena yang marak. Bukan lagi sebagai syahwat kekuasaan politik semata, tapi sudah jadi sebuah privilege (hak istimewa) sebagai modal besar dalam mendulang banyak dukungan.

Pengamat politik sekaligus mantan Ketua KPU Sumsel, Amrah Muslimin mengatakan perlu diakui pemilihan lang-sung seperti pilkada ini membutuhkan biaya yang banyak. “Peta wilayah pertarungan ini luas.

Sementara, para politisi yang sudah menjabat ini punya modal peta dukungan kewilayahan yang baik. Misalnya seorang kepala daerah mencalonkan istrinya sebagai kepala daerah, tentunya sudah punya basis massa yang lumayan kuat,” ungkap Amrah.

BACA JUGA:80 PPK Ogan Ilir Dilantik, KPU Sumsel: Harus Siap Hadapi Ritme Kerja Pilkada yang Padat dan Cepat

BACA JUGA:Mantan Komisioner KPU Sumsel Berpotensi Berebut Kursi Kepala Daerah Lubuklinggau 2024, Ini Sosoknya

Selin itu, partai politik yang mengusung calon kepala daerah tentu menginginkan kemenangan. Sementara untuk memenangkan pilkada itu ada beberapa faktor yang diperlukan.  Misalnya, faktor elektabilitas petahana atau sosok pejabat lama itu juga cukup tinggi.

Tentu secara politik akan lebih mencalonkan keluarganya dibandingkan orang lain.  “Pada saat ini sudah masuk fase pemilih yang pragmatis. Bisa dikatakan diatas 50 persen pemilih di Indonesia khususnya di Sumatera Selatan ini bukan memilih berdasarkan visi dan misi. Tetapi karena alasan-alasan yang pragmatis. Nah inilah yang mengakibatkan fenomena ini terus berlangsung,” terang Amrah.

Meskipun dalam konteks aturan, fenomena ini tidak dilarang. Tetapi faktor latar belakang elektabilitas yang berpengaruh pada calon itu akan sangat memperkuat. Kemudian ditambah dengan kemampuan dalam membiayai kontestasi pertarungan itu ada.

Di sisi lain, Amrah menyebut ada dampak lain yang ditimbulkan dari fenomena ini. “Yakni tokoh- tokoh yang sebenarnya punya kemampuan untuk maju jadi terkendala. Ini realitas yang bakal kita temui,” tukasnya.

BACA JUGA:Nah Loh, KPU RI 'Semprot' Ketua KPU Sumsel, Ini Penyebabnya!

BACA JUGA:Rekapitulasi Rampung, Serahkan ke KPU Sumsel, Banyak PR yang Harus Diselesaikan

Dikatakannya, hal ini bukan lantas menandakan demokrasi yang rusak. Namun, ada tahap tahapan yang harus dicermati. Pilkada yang baru dimulai sejak 2005, artinya baru 5 kali.  ‘’Mudah-mudahan, jadi tolak ukur bagi pemerintah untuk mengevakuasi kembali secara menyeluruh. Baik dari segi tata pelaksanaan dalam hal ini UU, maupun sistem penyelenggaraan pilkada itu sendiri,’’ ujarnya.

Besar kemungkinan, kondisi ini dianggap sebagai privilege bagi calon yang punya dukungan politik dari sisi keluarga. “Misalnya saja Joncik, kalau dia tidak maju lagi di Empat Lawang tentu yang akan maju adalah yang paling mendekati dari keluarga.

Kemudian, Ilyas Panji dia sekretaris PDIP punya basis struktur yang bisa dijalankan dalam kontestasi itu. Jadi ya tidak bisa kita hindari, siapapun itu, akan menemui kondisi seperti itu,” sebut Amrah.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan