https://sumateraekspres.bacakoran.co/

12 Tahun Geluti Usaha, Sehari Produksi 100 Kg

Melihat Produksi Tempe Haryanto Pasca Pandemi Covid-19

Beberapa pengusaha tempe masih tetap eksis selama pandemi dan pascapandemi Covid-19. Salah satunya Haryanto (42) yang telah menggeluti usaha ini kurang lebih 12 tahun. Agar tetap bertahan dia menyiasati dengan mengurangi ukuran atau volume tempe, karena jika harga dipaksa naik, diyakini semua pelanggan akan lari.

Ibnu Holdun - PALEMBANG

HARYANTO, warga Jl HM Brigjen Dhani Effendi, RT 16, RW 05, Kelurahan 24 Ilir, Kecamatan Bukit Kecil terlihat telanjang dada ketika koran ini menyambangi ke lokasi industrinya. Bapak empat orang putera ini tengah memasak kacang kedelai, menambah kayu bakar supaya api cepat membesar dan kacang kedelai cepat masak. Ada tiga buah drum terbuat dari besi yang dia gunakan sebagai tungku memasak kacang kedele.

"Untuk memasak kacang kedele ini diperlukan waktu sekitar 3 jam," jelas Haryanto kepada Sumatera Ekspres, kemarin (14/2). Dirasa telah masak, lanjutnya, kacang kedele tadi direndam ke air dingin. Perendaman sendiri memerlukan waktu cukup panjang, sekitar satu malam atau kurang lebih 12 jam lamanya. Baru kemudian kacang kedele dapat ditiriskan. Jika dirasa sudah sedikit mengering, kacang kedelai lalu dimasukkan ke mesin agar pecah menjadi dua atau terbelah. Otomatis kulit kedelai juga akan terlepas dengan sendirinya.

Baru kemudian kacang kedele dapat dicampur dengan ragi dan dibungkus menjadi tempe. Ada dua pembungkus sering Haryanto gunakan, yaitu pembungkus plastik dan alami berupa daun pisang. Namun paling banyak dia gunakan adalah pembungkus berbahan plastik, butuh waktu selama satu hari satu malam, juga kedelai dicampur ragi menjadi tempe.

Selanjutnya tempe dipotong-potong sesuai permintaan para pelanggan. Saat ini kacang kedelai yang digunakan Haryanto ada dua jenis, yaitu kedelai lokal dan impor. Kacang kedelai lokal sedikit murah harganya, jadi kalau digunakan sebagai bahan pembuat tempe memang agak kurang baik hasilnya. "Kedelai impor jika sudah menjadi tempe hasilnya lembut, tidak seperti kedelai lokal," bebernya.

Tetapi memang, harga kedelai impor cukup mahal. Supaya produksinya baik, Haryanto lebih banyak menggunakan kedelai impor. Namun agar tak merugi dirinya harus mengurangi produksi serta memperkecil ukuran tempe yang dijual. "Kalau harga tidak mungkin naik, cuma biar tidak rugi, selain ukurannyo lebih kecil, kita juga mengurangi produksi sehari-hari. Tapi ya tetap tidak selaris dulu," jelasnya.

Sejak satu tahun terakhir, Har -sapaanya- harus mengurangi jumlah produksi tempe buatannya. Jika sebelumnya Har, memproduksi sebanyak 200 kg kacang kedele untuk dijadikan tempe, kini produksi yang dia buat hanya separuhnya saja. "Dulu kita buat 200 kg, pasti habis sehari. Ini kita buat 100 kg, kadang menghabiskannya sampai 2 hari," cerita Har.

Dijelaskan Har, di tengah himpitan ekonomi yang tak menentu, dia harus tetap bertahan dengan keterampilannya membuat tempe. Sebelum harga kacang kedele bergolak. Satu kilogram kacang kedele dia beli kisaran Rp7 ribu/kg-nya. Belakangan harga kacang kedelai yang diimpor dari negeri Tirai Bambu, semakin lama semakin meroket. "Biasanya harga kedele tembus Rp 12 ribu," jelasnya.

Tahun ini, harga kacang kedele tidak hanya tembus Rp10 ribu. Tapi, sudah menembus angka Rp13 ribu/kg-nya. Sedangkan harga jual tempe dipasaran tidak meningkat sama sekali. "Harga tempe memang sesuai dengan ukuran. Mulai dari Rp1.500, Rp2 ribu hingga Rp4 ribu. Sejauh ini kita tidak berani menaikkan harga tempe. Kalau kita naik, pasti pelanggan pada lari. Jadi yang tetap bertahan di angka tersebut," ujarnya.

Agar dia tidak merugi. Ukuran tempat dia kurangi sedikit. "Terpaksa ukuran tempe kita kurangi pak. Kalau tidak kita kurangi alamat kita merugi. Kalau minyak goreng katanya subsidi. Nah kalau tempe siapa yang mau subsidi," jelasnya.

Har, sendiri mengambil bahan baku kacang kedele dari pasar Bukit Padang Selasa. "Ada langganan. Dia ambil dari Cina. Kalau kacang kedele lokalan, tidak bisa dijadikan tempe. agak lembek. bagus untuk membuat tahu," ujarnya.

Untuk pemasaran, Har, biasanya mengisi pelanggan di Pasar Induk Jakabaring. "Jadi memang sudah ada pelanggan. kita tinggal mengisi, sehingga tidak perlu jongkok untuk menawari para pembeli. selain itu, kita juga kerap mengisi langganan lainnya. termasuk mereka yang datang ke rumah memesan minta buatkan tempe sama kita," jelas Har. Menyinggung penghasilan? Karena produksi berkurang, menurutnya otomatis penghasilan juga berkurang.

"Sekarang kita harus mengencangkan ikat pinggang. Kalau boros alamat usaha kita akan hancur," jelasnya. Mengurangi biaya tambahan lainnya. Kini, Har, hanya menyisakan satu orang karyawan di pabrik tradisional miliknya. Sebelumnya, bapak dari dua orang putera ini memiliki 4 orang karyawan. "Terpaksa kita putus dulu. Bagaimana mau memberi gaji kepada mereka. Sedangkan usaha yang kita tekuni juga terancam gulung tikar," pungkasnya. (*/fad) https://sumateraekspres.bacakoran.co/?slug=sumatera-ekspres-24-januari-2023/

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan