Petaka Tahun Baru, Inilah Sejarah Pertempuran Lima Hari Lima Malam Tahun 1947
PERANG: Puing-puing akibat peperangan lima hari lima malam di Palembang. -foto: dok-
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID- Pertempuran Lima Hari Lima Malam tahun 1947 di Palembang merupakan pertempuran besar selama periode revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran ini penanda rakyat Palembang tak bisa diajak main-main untuk urusan kemerdekaan. Bagaimana pertempuran antara kedua belah pihak ini bisa pecah?
Pertempuran ini tak serta-merta terjadi. Ada banyak rentetan peristiwa yang mengekor pada kejadian menjelang pertempuran ini.
Hampir sepanjang 1946 hubungan antara pihak asing yaitu Sekutu (Inggris) dengan militer dan elite politik lokal di Palembang cenderung mengalami pasang-surut, namun relatif stabil.
BACA JUGA:Hari Juang TNI AD, Pangdam Gugah Spirit Prajurit dengan Pertempuran Ambarawa
BACA JUGA:TNI-Polri Punya Motor Listrik Tempur, Bernama E-Tactical Motor Bike
Sekutu tidak bisa menafikan kebutuhan mereka akan minyak dan barang tambang lain yang dikuasai pemerintah lokal di Palembang, sehingga konflik-konflik kecil antara kedua belah pihak dengan cepat bisa mereda.
Jelang akhir 1946, tepatnya pada Oktober- November 1946 terjadi penyerahan pasukan Sekutu ke pasukan Belanda yang mulai masuk ke Palembang.
Sejak awal elite politik dan militer di Palembang telah curiga dengan kedatangan pasukan Belanda ini.
Pasukan Belanda yang datang adalah Brigade Y atau yang populer ketika itu dijuluki Pasukan Gajah Merah pimpinan Letkol Mollinger. Pasukan ini datang dari Bali, dan dianggap salah satu biang-kerok terjadinya gejolak dan kekacauan di Bali.
BACA JUGA:MLM Bakal Jadi Medan Pertempuran Politik yang Seru, Begini Alasannya
Kecurigaan pihak Palembang semakin bertambah manakala terjadi konsentrasi pasukan Belanda yang semakin besar beberapa minggu setelahnya.
Konsetrasi pasukan Belanda di Palembang juga direspon dengan masuknya TRI dari luar Kota Palembang. Mantan Menteri Agama Republik Indonesia sekaligus eks-veteran dalam pertempuran ini yaitu Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam memoarnya yang berjudul Perjuangan Kemerdekaan di Sumatera Selatan (1987:60) mengisahkan kesatuan TRI dan laskar dari luar Palembang juga mulai memasuki kota menjelang akhir tahun 1946.
Salah satunya adalah Resimen CVII Prabumulih pimpinan Mayor Dani Effendi yang segera datang ke Palembang setelah mengetahui keadaan kota yang memanas.