Penyelenggara Pasif, Pemilih Bisa Kurang 70 Persen

--

PALEMBANG  - Kampanye pemilu sudah masuk hari keempat. Namun baik partai, caleg maupun tim peme- nangan presiden masih pasif. Hanya beberapa gelintir partai politik yang menyelenggarakan kampanye. Termasuk para calon legislatif serta tim pemenangan calon presiden di Indonesia.

Apa penyebab minimnya penyelenggaraan kampanye yang sudah dibunyikan gong-nya oleh KPU? Pengamat politik Sumatera Selatan, Bagindo Togar Butar Butar, mengatakan, sejauh ini memang pola kampanye ber-ubah 360 derajat. “Baik caleg, parpol, maupun tim pemenangan calon presiden tidak lagi perlu untuk berkampanye,’’ katanya.

Bagindo  berharap penye- lenggara dalam hal ini KPU dan Bawaslu aktif. Jangan sampai nantinya partisipasi pemilih di bawah 70 persen. “Jika terjadi demikian, dapat dikatakan gagal tugas penye- lenggara,” ujar Bagindo.

Dikatakannya, sejauh ini baik calon legislatif baru apalagi petahana tidak lagi perlu kampanye. Termasuk partai politik papan atas tidak perlu lagi kampanye. Yang butuh kampanye adalah penyelenggara supaya mau memilih. “Para caleg sudah punya tim, sudah punya pola, sudah punya cost,  sudah punya manajemen untuk memenangkan mereka. Sehingga tinggal mendistribusikan alat-alat atau kebutuhan untuk memenangkan mereka. Tinggal itu saja,” tegasnya.

Para caleg pun kini lebih memilih kampanye lewat medsos kalau untuk sekadar sosialisasi. “Sekarang mereka sudah realistis. Ngapain, ngabisi waktu, tenaga biaya dan pertemuan. Mereka kampanye melalui media sosial dan mindstream. Lebih murah dan lebih mudah,” paparnya.

Kalau untuk sosialisasi di lapangan  mereka sudah memiliki tim sendiri-sendiri. Mereka sudah langsung ke konstituen.  ‘’Sekarang yang menjadi persoalan penyelenggara kita? Bagaimana ketika partai politik dan calon legislatif tidak begitu reaktif, untuk berkampanye,’’ ujarnya.

Dikatakan, penyelenggara harus lebih aktif, supaya masyarakat dalam pemilu dapat menggunakan hak pilih. “Ini penyelenggara diam,  seolah-olah tidak punya biaya,” sindir Bagindo.

Padahal penyelenggara luar biasa memiliki biaya. “Kita tidak tahu akan digunakan untuk apa. Apakah akan digunakan sendiri oleh pe- nyelenggara. Sekarang penye- lenggara harus massif imbau  masyarakat menggunakan hak pilih mereka. Baik pileg maupun pilpres,” urainya.

Namun pada kenyataan,  di lapangan pileg tadi sudah realistis. Mereka tidak perlu kampanye, seolah-olah mereka tidak lagi perlu menggunakan APK. “Mereka lebih menggunakan medsos. Tim berjalan untuk bagi-bagi distribusi. Mereka memiliki simpul dari tingkat RT hingga kecamatan. Kalau provinsi sampai tingkat RI pusat. 

Mereka sudah punya pola, tim dan manajemen untuk menang. Bagi yang ingin menang dan merebut posisi petahana akan mengikuti hal seperti ini,” imbuhnya.

Ada  empat pola untuk dapat memenangkan  baik menjadi caleg maupun capres. Pertama sosialisasi yang masif, dekat dengan penyelenggara, dekat dengan pemerintahan mulai dari tingkat RT/RW. Yang keempat menjaga serta mendistribusikan kebutuhan logistik yaitu kapitalisasi pemilu, perlu dana dan anggaran. “Tidak ada yang lain, hanya perlu empat itu,” bebernya.

Jadi tanpa sosialisasi, lanjut Bagindo, ketika mereka dekat dengan penyelenggara, mereka dapat diajak kompromi dan berkolaborasi. ‘’Kemudian menyiapkan anggaraan pembiayaan untuk distribusi segala kebutuhan yang dibutuhkan,’’ ujarnya.

Imbasnya media seolah- olah tidak dibutuhkan lagi? “Tidak juga, yang jelas penye- lenggara jangan ikut pasif. Ini penyelenggara ikut pasif. Penyelenggara harus ikut  mendorong. Harusnya membantu. Kalau parpol tidak buat APK mereka yang bikinkan. Sekarang belum ada sosialisasi dari penyelenggara,” pungkasnya. (iol)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan