Tungku Sigit
Disway Dahlan Iskan--
Fungsi bata dua lapis adalah: penghasil panas. Bata itu, setelah dipanaskan, jadi bata yang membara. Panasnya bisa sampai 1.300 derajat. Panas yang dihasilkan bata yang membara itulah yang membakar sampah.
Untuk kali pertama tentu harus pakai bahan bakar. Kayu. Tidak lama. ''Cukup 15 menit,'' katanya. Lalu sampah sudah bisa dimasukkan. Terbakar. Membuat bata lebih panas lagi. Sampah pun terus dimasukkan. Terbakar lebih cepat lagi. Begitu terus sampai bata sangat panas. Memerah. Membara. Seperti menyala.
Kata '15 menit' itu juga kira-kira. Tidak ada penanda digital atau alat pengukur. Tidak harus beli alat penanda. Dari mana bisa tahu sampah sudah bisa dimasukkan? Dari mana tahu batanya sudah panas atau belum?
''Bisa pakai cara alamiah,'' katanya. Setelah kayu membakar tungku sekitar 15 menit pasanglah telinga baik-baik. Kalau sudah ada suara letusan kecil ''bleduk, bledug'' berarti pembakaran dengan kayu bisa diakhiri. Dinding bata sudah panas. ''Sampah mulai bisa dimasukkan,'' katanya. Suara tadi itu menandakan pecahnya molekul-molekul air.
''Jadi, untuk lapisan-dalam tungku Anda tidak pakai batu tahan api?'' tanya saya. Saya ingat semua konstruksi kiln dilapisi batu tahan api. ''Saya tidak mau menggunakan batu tahan api,'' kata Sigit. ''Kenapa?'' ''Batu tahan api itu justru menyerap panas,'' jawab Sigit. ''Saya pakai bata karena ingin bata itu memancarkan panas untuk membakar sampah,'' tambahnya.
Rupanya Sigit menggunakan prinsip bakar bata di desa-desa. Lalu disempurnakan. Saya mudah memahami prinsip kerja tungku Sigit itu karena saat remaja sering ikut bakar bata.
Rupanya itulah yang membuat Sigit sering dikeluarkan dari SMA. Sampai pindah SMA sembilan kali. Ia terlalu sering mengoreksi gurunya. Terutama guru matematika dan fisika. Lalu Sigit dianggap anak nakal.
''Saya juga pernah dikeluarkan dari SMA Panca Bhakti Magetan,'' katanya. Rupanya Sigit tahu SMA tersebut berada di bawah Pesantren SabililMuttaqin Magetan –di lingkungan keluarga besar kami. Saya pun malu tersipu. ''Apakah Anda juga sering mengoreksi guru agama?'' tanya saya.
''Tidak,'' jawabnya. Ternyata hanya di pelajaran agama yang Sigit tidak pernah koreksi. ''Ayah saya kiai,'' katanya. Dengan prinsip tungku seperti itu maka sampah yang tidak bisa didaur ulang tuntas terbakar di situ. Nyaris tanpa biaya operasional. Investasinya pun sangat murah. Biaya membangun tungku itu hanya sekitar Rp250 juta. Sebelum di-mark-up. Kalaupun satu kelurahan perlu dua tungku itu baru Rp500 juta.
Bagaimana dengan sampah basah? Bekas pampers atau kain pel? ''Justru bagus,'' kata Sigit. ''Kadar air di sampah itu menambah besarnya api. Molekul-molekul air yang pecah meningkatkan nyala api,'' katanya.
Sigit mengambil contoh kebakaran. Bila disiram dengan air yang kurang, justru membuat api lebih besar. Kecuali airnya bercampur busa yang banyak. Rasanya Sigit berhasil menemukan cara mengatasi sampah Indonesia. Tidak perlu lokasi besar. Mungkin Sigit akan dibenci orang banyak. Caranya menyelesaikan sampah itu merugikan para pemain proyek besar di bidang sampah.(*)