Tungku Sigit

Disway Dahlan Iskan--

SUMATERAEKSPRES.ID - TEKNOLOGI pengolah sampah terbaik saat ini, Anda sudah tahu: ciptaan Prof Dr Akhmad Zainal Abidin. Ia guru besar ITB. Teknologi itu sudah sukses diterapkan di Dumai. Baru di satu lokasi itu. 

Prof  Zainal tergolong anti sampah jadi listrik. Itu, katanya, dobel subsidi. Sampahnya disubsidi. Harga jual listriknya juga di subsidi: PLN harus beli listriknya lebih mahal. Kini muncul teknologi sederhana ciptaan seorang tamatan madrasah aliyah. Sudah berhasil diterapkan di Desa Taji, Karas, Magetan. Baru di satu desa itu. 

Tapi yang datang belajar ke sana sudah dari mana-mana. Pun dari Bontang, nun di Kalimantan Timur (lihat Disway kemarin). Penciptanya: Sigit Supriyadi. Umur: 52 tahun.

Pekerjaan: petani (kini jadi kepala desa). Pendidikan: diberhentikan dari SMA sampai sembilan kali. 

Akhirnya Sigit lulus madrasah aliyah negeri Jombang: hanya karena ingin punya ijazah. Sigit sama sekali tidak ingin bergerak di bidang sampah. Ia hanya dikenal sebagai orang yang banyak akal di desanya. 

Tahun lalu Sigit menerima curhat dari kiai pondok Temboro: bagaimana bisa mengatasi sampah pondok besar itu. Soalnya sampah pondok tidak bisa diterima di tempat sampah desa: terlalu banyak. Rumah Sigit hanya sekitar 500 meter di sebelah barat pondok.

Anda sudah tahu: 

Temboro adalah ''pusat'' jamaah tablig di Indonesia. Puluhan ribu orang datang ke sana. Lokasinya tidak sampai 10 km dari pangkalan udara Iswahyudi, Maospati–ke arah barat laut.

Sigit bukan anggota jemaah tablig. Tapi ia sering ke pondok itu. Sesekali salat Jumat di masjid Temboro. Masjid barunya seperti hanggar pesawat –saking besar dan simpelnya.

Awalnya Sigit hanya membakar sampah pondok itu di lahannya. Beberapa minggu kemudian ia undang penduduk untuk mengambil sampah yang bisa dijual. Sisanya yang dibakar. Penduduk kapok: jijik. Hasilnya pun tidak memadai.

Sigit lantas menggaji mereka. Pondok hanya memberi uang Rp 35.000/truk yang datang. Tidak cukup untuk gaji 15 orang.  Akhirnya Sigit menciptakan mesin pemilah sampah. Juga mesin pencacah sampah. Bikinan sendiri. Itu tidak menarik perhatian. Belum. Yang menarik adalah: temuannya di bidang cara bakar sampah. Ia menyebutnya sebagai teknologi oksidator. Membakar sampah dengan sampah.

Untuk itu Sigit menciptakan tungku. Belum pernah ada tungku seperti ciptaan Sigit. Ukurannya kecil: 2,4 m x 2,4 m dengan tinggi 3,6 m. Lapisan luar tungku itu terbuat dari plat baja. Bagian dalamnya bata. Dua lapis. Satu lapis disusun miring, satu lapis lagi disusun telentang. 

Di bagian depan tungku diberi lubang segi sempat. Sekitar 40 x 50 cm. Lubang itu untuk memasukkan sampah yang sudah dicacah. Tungku Sigit ini dua bidang. Atas bawah. Yang bawah tingginya sekitar 50 cm. Yang atas 3,1 meter. Penyekatnya juga dari baja. Baja penyekat ini diberi lubang-lubang. Untuk isap oksigen sekalian menjatuhkan abu dan residu lainnya.

Ruang bakarnya di atas penyekat itu. Sampah masuk di tungku bagian atas itu. Di situ, di bagian agak bawah, dibuatkan semacam knalpot. Nyaris tidak ada asap yang keluar dari knalpot. ''Asapnya telah kami bakar lagi di bagian atas tungku,'' ujar Sigit. ''Asap yang masih keluar dari knalpot lebih sedikit dari asap orang merokok,'' tambahnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan