Mari Menjadi Melayu
Editor: Widhy Sumeks
|
Selasa , 12 Sep 2023 - 19:43
Terlalu banyak argumen yang membuktikan bahwa sejatinya kita (orang Indonesia) adalah Melayu. Berdasarkan perbedaan ciri fisik kelompok manusia terbesar di dunia terbagi ke dalam enam ras, yaitu; Caucasoid (Kulit Putih), Negroid (Kulit Hitam), Mongoloid (Kulit Kuning), Australoid (penduduk asli Australia dan Papua New Guinea), Red Indian (Kulit Merah) dan Melayu-Polinesia (Kulit Sawo Matang). Mengacu pada konsep ini kita tergolong ras Melayu Polinesia. Dari aspek adat dan budaya bangsa Indonseia terkenal dengan adat dan budayanya yang santun, ramah-tamah, tolong-menolong.
Hal ini tercermin pada ungkapan “Hidup serumah beramah-tamah, hidup sedusun tuntun-menuntun, hidup sekampong (sekampung) tolong-menolong, hidup senegeri beri-memberi, hidup sebangsa bertenggang rasa”.Jika merujuk kepada bahasa yang kita gunakan, tak pelak lagi bahwa bahasa yang kita gunakan berasal dari rumpun bahasa yang satu yaitu rumpun bahasa Austronesia, itulah bahasa Melayu dan kita pun berdiam di tanah Melayu. Selanjutnya, dari aspek agama Islam menjadi aspek terpenting yang mengikat orang Melayu menjadi sebuah bangsa yang satu sehingga muncul adagium Tak Islam Tak Melayu dan lahirnya organisasiDMDI (Dunia Melayu Dunia Islam). Memperhatikan kenyataan ini, seharusnya tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak merasa Melayu. Akan tetapi, melihat fenomena kurangnya pemahaman masyarakat kita akan sejarah, budaya dan tradisi Melayu memotivasi penulis untuk menggugah rasa Melayu yang kita miliki melalui tulisan ini. Sampai saat ini, masih banyak diantara kita terutama generasi milenial bahkan para akademisi yang masih kurang mengetahui sejarah tentang Melayu, asal-usul bangsa Melayu, bahkan definisi Melayu itu sendiri. Merasuk pada tataran yang lebih esensial, saat ini, terasa betul beberapa nilai moral Melayu sedikit sekali yang kita ketahui dan amalkan. Banyak hal yang dapat dijadikan ukuran bahwa memudarnya rasa kemelayuan kita.
Sebagai contoh, fenomena dinasti politik yang mulai marak menjelang ajang pileg dan pilkada seperti sekarang ini menunjukkan kurangnya pemahaman dan pengamalanakan salah satu nilai asas jati diri Melayu.Dalam salah satu ungkapan Melayu dikatakan: “Adat senasib sepenanggungan, dalam sempit sama berhimpit, dalam lapang sama melenggang.” Dalam ungkapan ini terkandung nilai yang dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan menjauhkan perilaku yang hanya mementingkan diri sendiri, kelompok, atau golongan sehingga dapat meredam tumbuhnya kesenjangan dan kecemburuan sosial antara sesama anggota masyarakat. Masih banyak nilai asas jati diri Melayu yang seharusnya menjadi tuntunan dalam hidup bermasyarakat dan sepatutnya diketahui serta diamalkan oleh orang Melayu di mana pun mereka berada yang tercermin dalam ungkapan-ungkapan sebagai berikut; “Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mengata adat memakai, syah kata syarak, benar kata adat, bila bertikai adat dengan syarak, tegakkan syarak” Sekalipun demikian, ungkapan ini tidak bermakna bahwa budaya Melayu menolak masyarakat yang tidak seakidah, bahkan sebaliknya menganjurkan untuk hidup saling hormat-menghormati, harga-menghargai, bertenggang-rasa, tolong menolong dan seterusnya. Prinsipnya “adat hidup berlainan akidah, sama bijak menjaga lidah, sama arif memelihara langkah, sama bijak mengatur langkah” Nilai inilah yang sejak dulu mampu mewujudkan kerukunan hidup antara umat beragama di bumi Melayu. “Tanda Melayu sama serumpun, dalam bercakap bersopan santun, dalam susah santun-menyantun, dalam senang tuntun-menuntun”. Ungkapan ini ini mengajarkan orang untuk merasa seasal dan seketurunan sehingga mampu menumbuhkan rasa kekeluargaan dalam arti luas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Tanda hidup seaib semalu, yang buruk sama dibuang, yang keruh sama dijernihkan, yang kusut sama diluruskan, yang menyalah sama dibetulkan, salah besar diperkecil, salah kecil dihabisi.”Ungkapan ini mengajarkan agar saling memelihara hubungan baik, saling menjaga muru’ah, tidak melanggar pantang larang, tidak hujat-menghujat, maki-memaki, caci-mencaci, fitnah-memfitnah dan sebagainya. yang dapat menimbulkan aib malu bagi orang lain maupun dirinya sendiri. “Adat berlayar di tengah laut, pedoman diingat petunjuk diikut, dikemudikan menurut alur dan patut, supaya selamat menentang ribut.” Ungkapan ini menyadarkan orang tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, agar mereka turut menyelamatkan, memelihara bangsa dan negaranya. Sayangnya, banyak nilai-nilai luhur Melayu tersebut tidak dipahami dan diamalkan oleh orang Melayu sendiri.
Terdapat dua alasan yang mungkin menjadi penyebabnya; pertama bisa jadi karena kita sudah merasa sangat Melayu sehingga tidak merasa perlu untuk mengetahui dan mengamalkan nilai-nilai kemelayuan itu atau bisa jadi sebaliknya, kita tidak mengetahui sama sekali tentang nilai-nilai kemelayuan yang ada pada bangsa Melayu, yang notabene kita sendiri itu.Dua alasan ini sama bahayanya jika tidak segera kita sadari. Merasa tidak perlu mengetahui dan mengamalkan nilai-nilai kemelayuan yang seharusnya menjadi jatidiri kita menunjukkan bahwa kita telah tercerabut dari akar budaya Melayu yang dengan kata lain kita sudah tidak mememiliki jati diri sebagai bangsa/orang Melayu. Sedangkan ketidaktahuan kita akan nilai-nilai kemelayuan yang ada pada bangsa sendiri merupakan suatu kondisi yang sangat memalukan dan memilukan. Ibarat pepatah Melayu kita termasuk “kacang lupa kulitnya”. (*)