STDB Hambat Sertifikasi ISPO Petani

Wajib Hingga Tahun 2025

PALEMBANG – Pemerintah mewajibkan petani sawit bisa memiliki sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) hingga tahun 2025. Ini untuk membuktikan bahwa produk sawit beserta turunannya telah memenuhi syarat global, berkelanjutan, dan bebas deforestasi, seiring keluarnya Undang-Undang Anti Deforestasi (EUDR) Uni Eropa yang disahkan 19 April 2023 oleh Parlemen Eropa dan berlaku efektif mulai 16 Mei 2023. Kewajiban bagi pekebun sawit memiliki sertifikat pada 2025 ini diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 44/2020. Selain petani, sebelumnnya sejak 2011 perusahaan perkebunan sawit juga sudah diwajibkan mengantongi sertifikasi ISPO. Standar ISPO diatur Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38/2020 yang menyatakan bersifat mandatory (wajib) bagi seluruh perusahaan sawit di Indonesia, dari  hulu ke hilir. “Sertifikasi ISPO menjadi bukti nyata pengembangan kelapa sawit mengikuti kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan, yaitu menjalankan sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, sosial, dan ramah lingkungan,” ujar Analis PSP Ahli Madya Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian, kemarin (19/8). Dia menjelaskan ISPO juga untuk mendukung pencapaian komitmen iklim Indonesia, mitigasi gas rumah kaca, meningkatkan produksi dan daya saing sawit produk komoditas nasional baik di pasar domestik maupun internasional, serta mewujudkan industri nasional semakin berjaya dan bermutu, berkelanjutan dan berdaya saing di pasar global. “Sertifikasi ISPO punya 7 prinsip, meliputi kepatuhan legalitas usaha perkebunan, penerapan praktik perkebunan yang baik, pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan keanekaragaman hayati.
Selanjutnya tanggung jawab terhadap ketenagakerjaan, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, penerapan transparansi, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan,” rinci Rudi.
Pemprov Sumsel, lanjutnya, terus mensosialisasikan pelaksanaan sertifikasi ISPO bagi perusahaan maupun petani sawit di Sumsel. “Sebab dari total luas lahan perkebunan sawit Sumsel 1,2 juta hektare, yang tersertifikasi belum setengahnya.
Lalu petani bersertifikat baru satu KUD di Musi Banyuasin. Kami harap perusahaan yang belum secepatnya mendapat sertifikasi ISPO dan petani diberi kelonggaran hingga tahun 2025,” tegasnya.
Setiap tahun Dinas Perkebunan melalui anggaran Dirjenbun selalu menganggarkan program pelatihan bagi petani untuk percepatan sertifikasi ISPO. Kendati Rudi tak menampik ada faktor teknis dan non teknis yang menjadi penghambat. Paling dominan para petani sawit belum mengantongi syarat wajib Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). “Ketiadaan STDB ini membuat banyak petani sawit gagal meraih sertifikasi ISPO. Kendala lainnya mengikuti sertifikasi butuh biaya, sedangkan petani keuangannya terbatas,” bebernya. Ketua DPW Apkasindo Sumsel, H Slamet Somo Sentono menyatakan isu deforestasi cukup berdampak bagi ekspor sawit Indonesia. “Mungkin ada kelapa sawit yang ditanam di kawasan hutan, tapi kan tidak semua. Karena itu harus segera kita buktikan dengan sertifikasi ISPO. Sekarang sedang kita data para petani sawit yang belum ISPO supaya mengikuti proses sertifikasi,” ujar Wakil Bupati Banyuasin ini. Untuk perusahaan perkebunan (perusahaan inti) sebagian besar sudah mengantongi ISPO. Dikatakan, sertifikasi ISPO pekebun difasilitasi oleh pemda melalui Dinas Perkebunan (Disbun). Nanti Disbun menunjuk lembaga sertifikasi yang melakukan kegiatan audit bagi pelaku usaha perkebunan, baik kepada pekebun maupun perusahaan kelapa sawit.
“Sertifikasi ISPO bukan saja memenuhi permintaan pasar dan meningkat daya tawar produk CPO di pasar ekspor, tetapi lebih dari itu menjaga lingkungan dengan pengelolaan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO,” tegasnya.
Jika memperoleh ISPO, berarti kelapa sawit sudah ditanam di lahan yang baik, bukan di kawasan hutan lindung, area rambahan, dan lainnya. Lahan perkebunan pun bersertifikat SHM atau SPH yang punya titik koordinat dan legal dibuktikan dengan STDB.
“Tapi kita tidak kekurangan akal. Seiring meningkatnya daya saing produk komoditas, pasar CPO kita alihkan ke India dan Tiongkok. Jadi tidak mesti tergantung pasar Eropa,” tuturnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel, Alex Sugiarto menjelaskan Gapki telah menyatakan keberatan atas kebijakan Uni Eropa terhadap sejumlah komoditas perkebunan seperti sawit, karena secara langsung dapat menjegal produk andalan Indonesia yang selama ini berkontribusi besar bagi kinerja ekspor Tanah Air.
“Untuk itu Indonesia telah menerapkan sertifikasi ISPO sebagai bukti proses produksi berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tegasnya.
Selain menempuh jalur litigasi, Indonesia juga berencana mengalihkan pasar CPO dan turunannya dari Uni Eropa ke Tiongkok, Pakistan, AS, dan sejumlah negara di Afrika, serta menjajaki kerjasama dengan negara-negara Uni Ekonomi Eurasia termasuk Rusia. “Saya kira bagi perusahaan atau pekebun yang sudah mengantongi sertifikasi ISPO dan RSPO, tentu meningkatkan daya tawar produk komoditasnya sehingga bisa diterima di pasar global manapun,” tuturnya. Selain pasar ekspor, upaya lain meningkatkan serapan sawit di pasar domestik melalui hilirisasi produk turunan CPO, seperti Biodiesel B35, green gasoline, green avtur, dan lainnya. (fad)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan