Tak Sembuh Besale, Berobat Pakai KIS

SUMSEL – Rumah kayu Anggota Lembaga Adat, Japarin berdiri di antara rerindangan pohon nan hijau di kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal) Desa Sungai Jernih, Kecamatan Rupit, Kabupaten Muratara. Suasana sekelilingnya cukup sunyi siang itu, hingga datang seorang Suku Anak Dalam (SAD) mengetuk pintu dengan lemah. Dia mengeluhkan sakit di dada yang tak kunjung sembuh.

 

Tanpa mengenakan baju, Japarin yang mulai lanjut usia membukakan pintu dan memintanya masuk. Ketua Kelompok SAD Muratara itu pun mengambil air rebusan ramuan akar-akar pohon dan dedaunan. “Obat ini akar sambung nyawa untuk sakit dada,” kata Japarin menyerahkan ke Orang Rimba tersebut. Dia pun meminumnya cepat sampai habis.

 

“Pengobatan trasional ini warisan leluhur nenek moyang kami dari Pagaruyung (Padang). Mereka punya beberapa panggilan. Bagi SAD Rawas kami menyebutnya Tapa Lebar atau Kubu Besak, SAD Jambi memanggil Libo Talapak (Moyang Segayo), dan Tapak Besar dari Pagar Alam. Itu orang yang sama, satu nenek moyang kecuali Jambi agak berbeda tapi masih serumpun,” ceritanya kepada Sumatera Ekspres, Senin (26/6).

 

Japarin sendiri generasi ke-4 SAD atau Suku Kubu yang bermukim di Sungai Jernih sejak 1925. Dia termasuk anak cucu yang mewarisi pengobatan besale, tapi ritual menyembuhkan orang sakit dengan upacara mengusir roh jahat tak lagi dilakukan, seiring membaurnya SAD ke masyarakat luar. “Sekarang obat ramuan inilah yang saya pegang. Khasiatnya tak lama, biasanya sehari semalam langsung terasa,” tegasnya.

 

Dikatakan, obat besale cukup banyak jenisnya. Istilahnya bagi SAD akar, ada dari akar kayu, daun kayu, buah kayu. Jika sakit pinggang, ramuannya akar kendur urat, sakit kepala (pusing) daun ubi banar. “Khasiat besale masih kuat, makanya banyak warga SAD atau masyarakat desa berobat ke sini,” imbuhnya.

 

Tapi Japarin tak menampik, ada kalanya obat besale tak manjur. “Jika tak sembuh pasien kita bawa ke rumah sakit (RS) Rupit untuk berobat medis,” lanjutnya. Beruntungnya sebagian Suku Anak Dalam yang bermukim di Sungai Jernih itu sudah menjadi peserta JKN KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat) BPJS Kesehatan yang iurannya ditanggung Pemerintah sejak 2019.

 

“Di zaman sekarang, pengobatan medis bagi SAD juga sangat diperlukan. Terutama menangani penyakit berat, seperti sakit dada (jantung, red), sakit pinggang, atau demam. Apalagi saya juga mulai tua, beberapa warga SAD yang sakit parah harus kita bawa ke RS, meski semula ia berada di hutan. Di RS mereka dapat sembuh,” ujarnya.

 

Pihaknya pun bersyukur bisa berobat tanpa iur dan biaya (gratis) dengan KIS, bahkan hanya dengan memberitahu NIK (KTP, red) saja. “Di Sungai Jernih ini warga kita 125 KK, tapi masih ada yang tinggal di hutan karena tak punya uang, tanah, atau pencaharian di desa jadi sulit bertahan. Yang bermukim seperti saya menjadi petani padi, menanam karet, atau sawit,” ujarnya.

 

Cuma rata-rata pekerjaan SAD mencari berondolan sawit untuk dijual. Ada yang berburu babi, rusa, mencari madu sialang atau buah hutan. Hasilnya tak tentu, tapi itulah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

Sehingga jika mau membayar berobat ke puskesmas atau RS, Orang Rimba mana mampu. “Sekarang sebagian SAD sudah punya KK, KTP, dan BPJS Kesehatan. Kami berharapnya Pemerintah Desa memberikan identitas dan mendaftarkan semua warga kita ke BPJS Kesehatan, terutama yang baru menikah supaya kami mendapat pelayanan kesehatan dengan mudah,” imbuhnya.

 

Sebenarnya, lanjut Japarin, populasi SAD di Sumsel cukup banyak mencapai 4 ribu KK, khusus di Muratara seribu KK menyebar ke beberapa kelompok. Mereka semua juga perlu mendapat tanggungan kehidupan layak, identitas, pendidikan, BPJS Kesehatan. “Di Muratara saja ada 5 kelompok SAD. Selain di Sungai Jernih, ada di Muara Tiku, Gawang, Pangkalan Liam, dan Bina Marga,” bebernya.

 

Di Kabupaten Musi Rawas ada Kubu Merasi, Semangus, dan BTS Ulu Cecar. Sementara di Muba, ada di Pagar Desa, Sungai Kubu, Sungai Lalan, dan Sungai Bahar. Lainnya di Provinsi Jambi seperti Kubu Bukit 12, Bangko, Segayo, Sungai Reba, Muara Tembesi, Kutur, Rimbo Bujang.

 

Pesebaran ini tak lepas dari tradisi melangun yang membuat keluarga SAD sering berpindah-pindah tempat tinggal (nomaden). Melangun berarti pergi jauh, meninggalkan kampung untuk menghilangkan kesedihan ketika ada keluarga meninggal dunia. “Cuma masih ada beberapa komunitas SAD tetap tinggal di hutan dan tak mau berbaur dengan masyarakat luar,” jelasnya. Misalnya SAD yang berada di Pagar Desa, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Muba.

 

Dikatakan, Pemerintah perlu jemput bola warga SAD yang belum punya identitas terutama yang berada di hutan. “SAD banyak kurang mengerti urusan administrasi penduduk jadi enggan mengajukan sendiri, karenanya Pemerintah harus memberikan dorongan,” lanjut Japarin. Jika punya KK, KTP, otomatis SAD bisa mendapat bantuan pemerintah (PKH) dan fasilitas BPJS Kesehatan.

 

Tanggung Iuran Warga tak Mampu

 

Kepala Desa (Kades) Sungai Jernih, Yutami menjelaskan pemdes (pemerintah desa) mengupayakan seluruh warga, termasuk SAD mendapat jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan. Apalagi program JKN-KIS amanat UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24/2011 tentang BPJS. Pemda wajib mendukung penyelenggarannya melalui peningkatan pencapaian kepesertaan untuk mencapai UHC.

 

Dengan APBD dan dana desa, Pemkab Muratara dan Pemerintah Desa turut menanggung iuran warga tidak mampu menjadi peserta BPJS Kesehatan. “Warga kita hampir 100 persen atau 1.700-an KK telah menjadi peserta. Ada 1.400 KK Pemda menanggung iurannya, sisanya Pusat dan membayar mandiri. Khusus SAD sudah kita cover 75 persen atau sekitar 150 orang dari total penduduknya 267 jiwa,” imbuhnya.

 

Jadi sekarang, masyarakat yang mau berobat tak ada lagi kendala, sekalipun dini hari. Dengan menggunakan Kartu JKN-KIS, mereka bisa ke polindes, puskesmas, atau RS tanpa khawatir biaya perawatan. “Walau pengobatan tradisional masih melekat, SAD juga sudah berobat medis saat demam, sunatan, gondokan, atau sakit jantung,” lanjutnya.

 

Demi mendukung pelayanan fasilitas kesehatan (faskes) dan BPJS Kesehatan yang prima, Yutami pun suka menelpon bupati. “Kalau ada RS enggan melayani, kepala desa wajib menelpon bupati. Nanti bupati menegur direkturnya,” jelasnya. Tak heran berkat komitmen Pemkab, Muratara berhasil meraih status dan penghargaan UHC dari Kementerian Kesehatan RI pada Maret 2023. 

 

Kades Pagar Desa, Firman Luter Hia mengatakan ada satu Komunitas Adat Terpencil SAD di desanya. “Lokasinya di Sungai Badak. Dari pusat desa 35 km masuk hutan. Mereka menetap di sana sejak 2016, sebelumnya nomaden juga,” tuturnya. Ada 12 kepala keluarga, KK-KTP sudah dibuatkan dari 2020, fasilitas pendidikan SD filial didirikan, dan beberapa kali pelayanan kesehatan masuk ke sana.

 

“Mereka sebenarnya jarang sakit, atau kalaupun sakit tidak parah. Untuk pengobatan, SAD masih mengandalkan besale. Jika sakit tidak sembuh-sembuh, kata mereka kena jampi-jampi,” ujarnya. Akhirnya, ada pula yang berobat medis, naik motor ke desa menemui bidan. Artinya SAD pun butuh jaminan kesehatan.

 

Sebagai wujud dukungan ke program JKN dan tercapainya UHC, pemdes berencana mendaftarkan SAD menjadi peserta BPJS Kesehatan. “Iurannya ditanggung APBD seperti warga tidak mampu lain. Tapi kita perbaiki dulu identitasnya, anak belum terdata kita masukkan ke KK. Semua tak bisa dipaksakan, harus pelan-pelan. Membikinkan KTP saja butuh 3 tahun, sulit mengajak SAD keluar, mau berfoto. Mereka belum mau membaur, nanti jika merasa terusik, mereka pindah lagi,” sebutnya.

 

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Lubuklinggau, Yunita Ibnu menjelaskan pihaknya bersama pemda mengupayakan seluruh masyarakat mendapat perlindungan jaminan kesehatan dan menjadi peserta JKN-KIS. “Di wilayah kita 3 daerah sudah UHC per 31 Mei 2023, yaitu Muratara (101,16%), Lahat (102,82%), dan Lubuklinggau (100,71%),” ujarnya, kemarin. Tahun ini ditarget Kabupaten Mura, Empat Lawang, dan Pagaralam meraih UHC.

 

Jika ada warga tak mampu belum tercover termasuk SAD, lanjut Yunita, perangkat desa bisa mengusulkan masuk segmen kepesertaan PBI (penerima bantuan iuran) APBD atau PBPU (pekerja bukan penerima upah) pemda berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan. “Kami bersama faskes dan pemda berperan aktif melakukan kunjungan sehat ke desa-desa, sosialisasi program JKN-KIS, sekaligus menyisir warga belum terdaftar untuk diusulkan. Kita punya layanan jemput bola dan Mobile Customer Service (MCS),” pungkasnya. (fad)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan