Melihat Rumah Limas yang Jadi Saksi Bisu Perang 5 Hari 5 Malam

PALEMBANG  - Perang 5 hari 5 malam di Palembang menyisakan banyak peninggalan. Selain Monpera dan Tugu di kawasan Jembatan Ampera. Ada Rumah Limas Almarhumah Tjekmas yang menjadi bukti sejarah pertempuran itu. Rumah Limas itu berada di  Jl Sido Ing Alutan Lautan Lorong Suro, Kelurahan 30 Ilir RT 2 RW 1, Kecamatan Ilir Barat II, Kota Palembang. Saksi bisu sejarah perang itu bisa dilihat di sana, dimana rumah yang kini didiami keluarga almh Tjekmas itu masih menyimpan lubang diduga bekas tembakkan tentara NICA. Baca Juga: POLITIK HIJAU Zuryani (75) menunjukan lubang peluru tentara NICA yang tembus dari jabo (depan, red) sampai ke-buri belakang rumah Tjekmas. Sayang cerita heroik tersebut tak diturunkan Tjekmas kepada keponakannya. Begitupula dengan saudara kandung Tjekmas, Mancik Din (80), yang kini tinggal di Jakarta. Koransumeks.com sempat bertandang ke rumah yang posisinya persis di tepi Sungai Musi itu. Rumah almh Tjekmas tak hanya menyajikan keindahan Sungai Musi, pada bagian kiri bisa melihat pemandangan Jembatan Ampera. Tapi garang atau teras rumah almh Tjekmas kini tergerus dimakan usia. Baca Juga:Sejarah Berdirinya Monpera Palembang, Banyak Koleksi Terkait Perang 5 Hari 5 Malam Disana Terbuat dari kayu dan sudah uzur, garang tersebut terlihat sudah rusak lantaran sering dihempas gelombang Sungai Musi atau karena hujan dan terik matahari. Bagian dalam rumah masih terkesan nuansa Palembang BARI. Hiasan dinding, tatakan rumah bertingkat ditambah pernak-pernik ukiran, serta hiasan dalam rumah dan ratusan perabotan, mulai dari guci, kursi, meja marmer, lukisan hingga simbar ‘khas rumah Palembang’, semakin menambah corak serta warna Rumah Limas. Di sisi tengah masih menyisakan kamar pengantin dan ambenan (teras dalam rumah). Meski bagian atas rumah tidak didiami keluarga, namun tetap terawat dan bersih. Bahkan untuk merawat rumah itu juga terlihat kotak amal bagi mereka yang datang dan sekedar mengeluarkan uang untuk perbaikan dan pemeliharaan bangunan. Sedangkan bagian bawah rumah, saat ini didiami Zuryani, merupakan adik ipar dari almh Tjekmas. Dia diberi amanah dan kepercayaan keluarga Tjekmas menunggu rumah tersebut. “Yang sering ke sini Mang Dayat, budayawan dan sejarawan di Kota Palembang. Dialah yang biasa melihat dan mencatat apa saja yang ada dalam rumah ini,” katanya. Meminjam catatan sejarah Rumah Tjekmas, budayawan dan sejarawan Kota Palembang Hidayatul Fikri atau yang lebih dikenal sebutan Mang Dayat, berbicara panjang lebar mengenai saksi bisu sejarah rumah Tjekmas. Mang Dayat menjelaskan rumah itu dibangun tahun 1.326 hijriah atau bertepatan 1908 masehi. Dahulunya pernah dijadikan dapur umum bagi Tentara Republik Indonesia (TRI). “Ketika itu terjadi peperangan yang menyebabkan TRI harus mundur ke Suro. Dimana basis pertahanan TRI, untuk mundur sebelum ke Lorong Palembang Merah yang berada di arah Tangga Buntung. Jadi ketika itu rumah Tjekmas dijadikan dapur umum bagi puluhan TRI yang bertahan,” jelasnya. Mengenai lubang yang ada di Rumah Tjekmas, Dayat mengatakan akibat tembakan membabi buta tentara NICA. “Mereka menggempur Palembang, dari tiga matra. Mulai dari laut yang diperkuat personel tank baja dan tantara terlatih, melalui jalur udara hingga jalur laut Sungai Musi. Jadi berondongan mortar membabi buta tantara NICA, membuat rumah Tjekmas pun tak luput dari tembakan,” ujarnya. Mengapa? Ternyata Warung Buncit yang ada persis di sebelah kiri rumah Tjekmas, merupakan pertahanan tantara Indonesia. Sehingga wajar saja, kemudian NICA menembaki apa saja yang ada disana termasuk rumah Tjekmas. Karena Rumah Tjekmas jadi dapur umum bagi TRI, juga jadi sasaran Belanda. “Mereka melihat ada api pasti akan menembak. Sedangkan rumah Tjekmas dijadikan dapur umum bagi pejuang. Ketika itu digunakannya karena rumahnya agak sedikit menjorok ke lorong. Sehingga tantara NICA yang ada di jalan Merdeka, tidak dapat melihat adanya gelagat kegiatan memasak untuk memberi makan para pejuang RI,” ungkapnya. Dayat berujar, dari penuturan almh Tjekmas, dapur yang digunakan tersebut letaknya di bawah rumah dekat menjorok ke arah darat. “Jadi dapurnya berada di bawah rumah dan menjorok ke arah belakang rumah atau darat. Dulu di bagian dapur atau belakang rumah itu ada semacam sekat. Masih ada peralatan memasak sisa perang 5 hari 5 malam,” kata dia. Referensi lain diperkuat dengan adanya pernyataan sejarawan Kota Palembang. Dayat mengatakan berdasarkan beberapa literasi, konflik awal terjadi perang ketika Belanda menginginkan Kota Palembang dikosongkan segera, namun permintaan itu ditolak seluruh rakyat Palembang. Sehingga berakhir dengan baku tembak pada 1 Januari 1947 di Palembang Ilir dan menyerang markas Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) di Jalan Tengkuruk. Beberapa tokoh penting yang memimpin jalannya pertempuran dari pihak tentara dan pejuang Indonesia, di antaranya Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Bambang Utoyo, Mayor Rasyad Nawawi, dan Kapten Alamsyah. Pusat pertahanan terkuat Belanda berada di Benteng Kuto Besak, RS RK Charitas dan Bagus Kuning (Plaju). Sementara kekuatan pejuang Palembang tersebar merata di setiap tempat pertahanan Belanda. Hari pertama setelah insiden penembakan di Jl Tengkuruk, para pejuang menyerbu dan mengepung pasukan Belanda yang bertahan di semua sektor yang telah mereka kuasai sebelumnya. Pertempuran berakhir hingga pukul 5 sore, tetapi menjelang malam pasukan Belanda kembali menggempur menggunakan senjata lapis baja yang mengakibatkan beberapa tempat strategis dikuasai Belanda seperti, kantor telegrap, kantor residen, kantor walikota, dan kantor pos. Menyusul hari kedua dan ketiga, Belanda kembali menyerbu pusat pertahanan tentara dan para pejuang di area Masjid Agung Palembang, namun berhasil dihalau Pasukan Batalyon Geni bersama sejumlah tokoh masyarakat. Sementara dari arah Talang Betutu, pasukan bantuan Belanda yang hendak bergabung ke Masjid Agung berhasil disergap pejuang Palembang yang dipimpin Lettu Wahid Luddien. Pertempuran terus berlanjut menyisakan kehancuran sebagian besar Kota Palembang. Pada hari ke empat bala bantuan untuk pejuang Palembang tiba dari Lampung, di bawah komando Mayor Noerdin Pandji dan dari Lahat dipimpin Letjen Harun Sohar. Menjelang hari ke lima pertempuran, setelah kekurangan pasokan logistik dan amunisi, kedua belah pihak mengadakan pertemuan antar pimpinan sipil dan militer. Mereka memutuskan melakukan gencatan senjata. Indonesia mengirim Dr Adnan Kapau Gani sebagai utusan pemerintah pusat, untuk melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Hasil perundingan menyepakati dari pihak Indonesia, pasukan TRI dan pejuang lainnya akan mundur sejauh 20 km dari pusat kota dan hanya menyisakan ALRI, polisi dan pemerintahan sipil agar tetap berada di Kota Palembang. Sementara dari pihak Belanda, batas pos-pos mereka hanya boleh didirikan sejauh 14 km dari pusat kota. Gencatan senjata tersebut mulai berlaku sejak tanggal 6 Januari 1947. (iol)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan