Sumatera Ekspres | Baca Koran Sumeks Online | Koran Sumeks Hari ini | SUMATERAEKSPRES.ID - SUMATERAEKSPRES.ID Koran Sumeks Hari ini - Berita Terhangat - Berita Terbaru - Berita Online - Koran Sumatera Ekspres

https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Mitsubishi baru

TKA dan Cermin Pendidikan

Ramlan Effendi MPd Kepala SMPN 4 Kikim Selatan Lahat-Foto : Ist-

SUMATERAEKSPRES.ID - Hasil evaluasi Tes Kemampuan Akademik (TKA)siswa SMA yang dilaksanakan pada awal November lalu akhirnya resmi diumumkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen).

Seperti biasa, angka-angka langsung menjadi pusat perhatian. Banyak yang terpaku pada peringkat, rata-rata nilai, dan perbandingan antarwilayah. Namun, di balik deretan skor itu, tersimpan cerita yang jauh lebih penting untuk dibaca bersama.

Publikasi perdana ini sontak menyita perhatian banyak pihak, terutama para pendidik dan pemerhati dunia sekolah. Pasalnya, capaian hasil TKA seharusnya menjadi cermin kejujuran pendidikan kita.

Namun cermin itu tampaknya retak. Skor rata-rata peserta didik, khususnya pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris, berada jauh di bawah standar yang diharapkan. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, melainkan alarm keras tentang kondisi literasi numerasi di sekolah.

Yang menarik, sekaligus menyentil, adalah pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti. Ia menegaskan bahwa rendahnya nilai Matematika bukan disebabkan oleh rendahnya kecerdasan siswa. Ini pernyataan penting. Artinya, anak-anak kita tidak bodoh. Mereka tidak gagal secara intelektual. Yang bermasalah adalah sistem pembelajarannya.Pernyataan ini seperti mengingatkan kita untuk berhenti menyalahkan anak, dan mulai bercermin sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab atas proses belajar mereka.

BACA JUGA:Nilai TKA Jeblok, Sumsel Belum Terima Hasil, Kualitas Pendidikan STEM Perlu Digenjot

BACA JUGA:Gebrakan Pendidikan Pemkab Muba, Seragam Gratis untuk Puluhan Ribu Siswa

Dalam kondisi ideal, Matematika bukan mata pelajaran yang menakutkan, melainkan alat berpikir. Ia membantu siswa memahami pola, mengambil keputusan logis, dan menyelesaikan persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Matematika seharusnya dekat dengan realitas: menghitung jarak, mengelola uang, membaca data, hingga memahami peluang.

Sayangnya, realitas di lapangan sering kali jauh dari gambaran ideal tersebut. Matematika masih dipersepsikan sebagai pelajaran sulit, kaku, dan menekan. Banyak siswa belajar bukan karena ingin memahami, tetapi karena takut nilai jelek. Tidak sedikit yang menganggap Matematika hanya soal cepat menghitung, bukan soal bernalar. Namun, di titik inilah pertanyaan besar muncul: jika siswa bukan penyebab utama, lalu siapa yang harus bertanggung jawab?

Guru Selalu di Garis Depan Tuduhan

Jawaban paling mudah, dan paling sering, adalah: guru.Orang tua menyalahkan guru. Pemerintah menyalahkan guru. Publik pun ikut-ikutan menyalahkan guru. Seolah-olah guru adalah tempat parkir semua kegagalan pendidikan.

Padahal, pendidikan tidak pernah berdiri di atas satu kaki. Kesuksesan peserta didik ditentukan oleh setidaknya tiga faktor utama: guru, siswa, dan orang tua. Di sekolah, guru bertanggung jawab. Di rumah, orang tua memegang peran utama. Ketika anak gagal, tetapi yang disorot hanya guru, maka ada ketimpangan cara berpikir yang serius.

BACA JUGA:2.249 PPPK Ogan Ilir Resmi Dilantik, Pendidikan Jadi Prioritas

BACA JUGA:7.000 Kecamatan Belum Punya SMA, Ketimpangan Ketersediaan Satuan Pendidikan Secara Nasional

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan