Ceng Beng sebagai Bukti Hormat ke Leluhur
SEMBAHYANG KUBUR : Warga Tionghoa sembahyang kubur pada salah satu makam leluhurnya di TPU Talang Kerikil. Ini merupakan bagian dari tradisi Ceng Beng sebagai perwujudan mencintai dan menghormati para leluhur. (foto bawah) Dua anak terlihat sedang members--
"Di Palembang tepatnya di TPU Talang Kerikil dan Soal Simpur, panitia Ceng Beng menyediakan pengamanan dari TNI dan Polri bagi masyarakat yang berziarah dari akhir Maret hingga puncak perayaan," terangnya. Pada saat Ceng Beng menjelang, masyarakat Tionghoa dimana pun berada, baik itu di Kota Palembang, luar kota, maupun luar negeri akan pulang mendatangi makam keluarga mereka.\
Mereka datang untuk membersihkan makam-makam itu dari semak belukar. Dari sinilah Ceng Beng berarti Bersih dan Terang, mengacu kepada makam leluhur yang dibersihkan. “Setelah makam bersih, mereka melakukan tradisi ”Tee Coa” dengan ”Ko-Coa,” yaitu melempar kertas emas atau perak (Gin Cua/Kim Cua) untuk menandai makam keluarga mereka,” katanya.
Dijelaskan, ada banyak cerita berkenaan latar belakang munculnya tradisi Ceng Beng, namun pada intinya semua cerita mengajarkan kepada kita untuk memiliki bakti kepada kedua orang tua dan para leluhur. Mengingat jasa-jasa mereka amat sangat besar kepada kita, anak-anaknya,” ucapnya.
Setelah Ceng Beng, ketiga ada Festival Musim Panas, yang jatuh tanggal 5 bulan 5 (Go Gwee) menurut penanggalan Imlek. Keempat Festival Musim Gugur, jatuh setiap tanggal 15 bulan 8 (Pe Gwee) menurut penanggalan Imlek. Dan kelima Festival Musim Dingin, jatuh setiap tanggal 22 Desember menurut penanggalan Masehi.
“Setiap festival memiliki makna, ciri khas, maksud dan tujuan tersendiri. Di samping itu, setiap festival juga memiliki makanan khas tersendiri pula. Imlek memiliki makan khas Kue Keranjang, Ceng Beng memiliki makanan Ketupat Opor Ayam, Musim Panas (Peh Cun, Indonesia) memiliki makan Bakcang dan Kue Cang, Musim Gugur (Tiongchiu) memiliki makanan Kue Bulan, dan Musim Dingin (Tangche) memiliki makanan Wedang Onde,” ujarnya.
Pembimas Agama Budha Kanwil Kemenag Sumsel, Aris Cahyanto mengungkapkan dalam ajaran Buddha, menyayangi dan mendoakan sekaligus berziarah sangat penting.
BACA JUGA:Hadiri Ziarah Kubro 2025! Tradisi Sakral Jelang Ramadan di Palembang, Ini Rangkaian Kegiatannya
BACA JUGA:Hari Pertama Kerja Presiden Prabowo, Pelantikan Menteri dan Ziarah ke TMP Kalibata
Sebab menurut tradisinya, momen ini bukti dan ketaatan anak ke orangtua dan leluhur. Dalam agama Budha, momen ini juga disebut pelimpahan jasa bagi kerabat, orangtua, dan leluhur yang meninggal.
“Doa dan sutera atau varita yang kita baca untuk orangtua atau leluhur dan kerabat yang telah meninggal, karma baik atau jasanya tersebut dilimpahkan ke mereka yang meninggal ini," pungkasnya. (afi/fad)

SEMBAHYANG KUBUR : Warga Tionghoa sembahyang kubur pada salah satu makam leluhurnya di TPU Talang Kerikil. Ini merupakan bagian dari tradisi Ceng Beng sebagai perwujudan mencintai dan menghormati para leluhur. (foto bawah) Dua anak terlihat sedang members-FOTO : KRIS SAMIAJI/SUMEKS
