Setelah istirahat, istri saya mengajak jalan lagi. "Kuat?" tanya saya. "Dicoba," jawabnyi dengan wajah tidak menderita. Mulailah terlihat jalannya pincang. Pelan. Kalau saja ini adegan film India saya akan gendong dia. Akhirnya dia mengeluh: sakit sekali. Sebentar-sebentar kami istirahat. Saya merasa begitu bersalah.Pulang dari Beijing beliau saya bawa ke dokter. Harus operasi. Tapi istri saya tidak mau operasi lutut. Padahal tidak ada jalan lain. Suatu saat kami (saya dan anak-anak) cari cara. Agar bisa operasi. Sampai saya jelaskan: lutut baru nanti itu buatan Jerman. Yang terbaik di dunia saat itu. Akhirnya operasi berlangsung. Di Surabaya. Sukses. Setelah operasi istri saya terlihat sangat menderita. Tiap hari menjerit. Itu memang masa pemulihan. Setelah tiga bulan barulah berkurang. Lalu tidak lagi rasa sakit. Lantas happy. Bisa senam dansa lagi. Itu... yang kanan. Belakangan yang kiri mulai sakit. Istri saya merasa trauma untuk menjalani operasi sekali lagi. Dalam penolakannya itu sering diucapkan kata-kata ini: "Abahkan tidak merasakan sakitnya". Saya pun melemah oleh kata-kata itu. Terutama ketika ingat perasaan bersalah waktu di Beijing itu. Toh kini masih ada satu lutut yang made in Germany itu. Yang bisa jadi tumpuan darurat. Tentu kami masih harus menemukan cara agar beliau mau operasi sekali lagi.
"Anda baiknya nggak usah ikut ke Beijing ya?" kata saya sambil menyerahkan paspor untuk disimpan lagi. "Iya. Saya ke Kaltim saja," katanya. Itu berarti pulang kampung. Sambil ke makam ayah-ibunya di Loa Kulu, dekat ibukota Kutai Kartanegara.Lalu ada lagi komentar di Disway: mengapa tidak ajak Robert Lai? Yakni soulmate saya di Singapura itu? Sumpah! Saya sudah hubungi Robert. Kali ini ia pun tidak bisa. Saya tidak memaksanya. Saya tahu alasannya, pun sebelum diucapkan. Istrinya juga tidak terlalu sehat. Punya masalah di paru-paru. Di tengah Covid-19 Robert harus menjaga istri lebih dari biasanya. Sakit paru adalah komorbid yang paling berat kalau sampai kena Covid. Saya salut kepadanya. Ia bisa menjaga istri sampai melewati masa Covid. Tapi ia masih terus ekstra hati-hati. Rasanya ia juga merasa bersalah pada istri. Dorothy, istrinya, terlalu lama ditinggal keliling dunia. Sejak sebelum kenal saya. Lalu berbulan-bulan menemani saya. Ke Eropa. Ke Amerika. Terutama ke Tiongkok. Yakni di masa-masa kritis saya. Sampai mengurus transplantasi hati saya. Maka saya pilih ingat masa-masa menjadi wartawan: lebih senang sendirian meliput peristiwa besar daripada bergerombol dengan wartawan lain. Tidur di terminal bus, di stasiun kereta api, di musala, di gardu jaga, sangatlah sudah biasa. Kesendirian itu pula yang mewarnai sikap hidup saya selanjutnya. Punya teman adalah baik, tidak punya teman tidak apa-apa. Tapi setiap salah orang harus minta maaf. Saya pun minta maaf kepada para pembaca Disway. Termasuk sudah minta maaf pada Encik Syafiq Hakim, pembaca Disway di Malaysia. Lewat email ke redaksi Disway, Encik Syafiq mengoreksi beberapa data di tulisan saya. Misalnya soal nama Azmi itu mestinya Nazmi. Mungkin banyak juga pembaca Disway yang merasa bersalah kepada istri. Maka saya setuju dengan ide anak-anak dan menantu saya ini: di saat Lebaran tidak hanya istri yang cium lutut suami. Ganti, suami juga harus cium lutut istri. Dan saya, dulu, pilih cium lutut istri saya yang kanan. Lebaran ini saya cium lutut istri yang kiri. (*)
Kategori :