BATURAJA, SUMATERAEKSPRES.ID - Suku Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) memiliki budaya atau adat dalam tradisi pernikahan.
Baik sebelum masuk masa pernikahan, maupun dalam prosesi yang dijalani. Bahkan adat atau tradisi prosesi dalam pernikahan ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, atau sebelum masuk masa kemerdekaan.
BACA JUGA:Suku Ogan Jaga Tradisi Tari Ngibing
BACA JUGA:2 Tradisi Unik Suku Ogan Yang Sudah Jarang Ditemui, Namanya Pengadangan dan Ningkuk, Mau Tau?
Salah satu proses pernikahan iring-iringan pernikahan di Desa Lontar pada 1903 pernah didokumentasikan.
Dalam proses pernikahan saat itu, sudah tergambar bagaimana kemegahan dan keindahan pakaian adat yang dikenakan pengantin. Seperti wanitanya memakai siger/sigukh (mahkota) dilengkapi tunjung beringin, juga mengenakan sual.
Petinggi adat (Pasirah) juga terlihat dan orang Belanda yang ada di Lintut (teras) Rumah Angkung atau Rumah Ulu yang merupakan bangunan khas Suku Ogan.
Diketahui sebelum masuk masa pernikahan ada tahapan yang dilalui. Mulai dari perjanjian antar kedua mempelai, pertemuan kedua belah pihak untuk memastikan hubungan kedua calon pengantin.
Tahapan berikutnya, sirih betanye ahi. Ini maksudnya untuk menanyakan permintaan atau mas kawin. Sekaligus menanyakan rasan (keinginan) apa yang akan digunakan.
Hal ini penting karena menyangkut permintaan atau mas kawin yang diminta. Serta rasan apa yang diminta.
Salah satunya menentukan akan tinggal dimana, apakah pada keluarga perempuan atau laki laki. Ada yang disebut rasan pola belaki, rasan kambek anak, dan rasan senak anak.
Tak hanya mengatur soal tempat tinggal setelah menikah., tapi juga soal "mas kawin" adat, yakni tahap ngantat.
Dari keluarga mempelai pria membawa pintaan atau mas kawin yang sudah disepakati sebelumnya, disertai membawa wajik di dalam antaran.
BACA JUGA:Makna Pernikahan dan Sunnah Malam Pertama dalam Islam
BACA JUGA:Tarian Tradisional di Pernikahan: Simbol Doa dan Keindahan Budaya