PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Provinsi Sumatera Selatan mewaspadai tren peningkatan inflasi akhir tahun. Hal ini karena ada momen libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta potensi dampak kenaikan harga sembako hingga tarif angkutan udara.
Pj Gubernur Sumatera Selatan, Elen Setiadi, menyampaikan berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, perkembangan inflasi bulan Oktober lalu, Sumsel inflasi 0,09 (month to month), 0,12 persen untuk year to date, dan 1,09 persen year on year. Tapi 4 bulan sebelumnya, Sumsel deflasi berturut-turut periode Juni-September 2024.
"Kendati kita tetap waspadai menghadapi akhir tahun ini, khususnya pada bulan Desember 2024, ada Nataru. Kita sudah menyiapkan langkah antisipasi pencegahan inflasi," sampainya saat Rapat Koordinasi Inflasi Sumsel di Santika Premier, Senin (11/11).
Dikatakan, inflasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti administrator price/ kewenangan penetapan harga yang diatur pemerintah, hingga volitale food. Terkait faktor atau kompenen inflasi dari penetapan harga diatur pemerintah, saat Nataru biasanya terjadi peningkatan permintaan tiket pesawat karena berlaku hukum pasar. "Karenanya kita harus bisa me-manage ketika peak session berlangsung," bebernya.
BACA JUGA:BI Yakin Target Inflasi Terjaga hingga 2025, Ini Faktor Pendukungnya
BACA JUGA:BPS Ungkap Angka Mengejutkan: Inflasi Sumatera Selatan Tembus 1,09%!
Kemudian, perubahan pemberian subsidi tepat sasaran, tidak berbentuk barang, tapi langsung ke orang juga bisa berdampak. Dia mencontohkan, BBM Pertalite, harga perekonomian berkisar Rp15-16 ribu, sedangkan subsidi langsung Rp10 ribu. "Selama ini kan penggunanya bercampur antara penerima dan non penerima. Ketika skema pemberian berubah (pembatasan, red), ini harus kita antisipasi," katanya.
Dari komponen volatile food, beberapa komoditas menjadi sumber inflasi. "Beras, dari holtikultura ada tomat, bawang merah, dan cabai. Ada juga daging ayam, gula pasir, kopi bubuk sehingga sembako harus diantisipasi ketersediaan," ujarnya. Berdasarkan catatan BPS, tingkat inflasi di beberapa daerah yang tinggi, seperti OKI 1,44 persen (yoy), Muara Enim 1,13 persen (yoy), Palembang 1,01 persen (yoy), dan Lubuklinggau 0,89 persen (yoy).
"Palembang proposisinya hampir 20 persen dari total penduduk Sumsel 8,8 juta. Jadi kalau kita bisa mengendalikan Palembang dan Lubuklinggau, saya yakin pengendalian inflasi dapat lebih baik," jelasnya. Komoditas penyumbang inflasi pun rerata sama, seperti emas perhiasan, daging ayam ras, tomat, jeruk, bawang merah, serta, kopi bubuk.
Pemprov Sumsel bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) berusaha menjaga rantai distribusi pasokan, ketersediaan stok, dan lainnya. Meski inflasi harus diwaspadai, ia juga mengingatkan deflasi terlalu dalam juga bukan hal baik. "Kalau turun juga tidak terlalu baik untuk perekonomian, karena penyokong perekonomian masih dari konsumsi rumah tangga," tukasnya.
BACA JUGA:Inflasi Inti Stabil! Kabar Gembira untuk Ekonomi Indonesia!
BACA JUGA:Inflasi Indonesia Tetap Stabil di September 2024, Pemerintah Optimalkan Kebijakan Pengendalian Harga
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumsel, Ricky Perdana Gozali menambahkan, perkembangan inflasi dari 4 kota gabungan Sumsel secara year on year 1,09 persen pada Oktober 2024. Angka ini masih di bawah nasional dan tercatat lebih rendah dari rentang aman, secara target nasional 2,5 plus minus 1 persen.
"Adapun komoditas penyumbang inflasi tahunan, yaitu emas perhiasan, daging ayam ras, gula pasir , kopi bubuk, dan sigaret. Di Sumsel karaktek penduduk itu merokok sambil minum kopi," tuturnya.
Komoditas akhir tahun perlu diwaspadai dan antisipasi berdasarkan histori 3 tahun terakhir, yaitu beras, daging ayam ras, telur ayam ras, bawang merah, dan cabai merah lantaran berkurangnya pasokan di tengah masa tanam. Sedangkan non-volitale food, ada tarif angkutan udara karena mobilitas tinggi saat Nataru, emas perhiasan, hingga kenaikan PPN awal 2025.