Analis PSP Madya Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), H Rudi Arpian, menjelaskan, selama ini petani sawit tak menikmati produk turunan kelapa sawit yang ada, seperti bahan sabun, kosmetik, dan lainnya. Produk TBS (tandang buah segar) atau CPO (crude palm oil) lebih banyak diekspor ke luar negeri dibanding memenuhi pasar domestik, sehingga harganya juga bergantung dengan pasar internasional.Baca Juga : Pengendara Wajib Tahu, Ini Besaran Denda Tilang Elektronik Karenanya, jika Pemerintah bisa menyerap lebih banyak buah sawit produksi petani untuk kebutuhan domestikan seperti bahan baku B35, maka diharapkan harganya bisa mengalami kenaikan dan tak terlalu tergantung harga pasar internasional. “Petani juga selaam ini tak bisa menjual cangkang, minyak kotor, dan lainnya. Petani hanya bisa menjual TBS yang kini harganya Rp2.512 per kg. Harga TBS ini tentu saja melihat harga CPO," tuturnya. Karenanya, banyak desakan dilakukan revisi aturan Pemerintah supaya ada keadilan bagi petani kelapa sawit. "Diharapkan melalui kebijakan baru ini petani dapat merasakan imbasnya serta menambah pendapatannya dari naiknya harga TBS," jelasnya. Apalagi harga bibit, pupuk, dan racun rumput juga mahal saat ini. BACA JUGA :Ini Kata Gubernur Soal Musi III
Menurutnya, petani sawit sangat sedikit mendapatkan keuntungan, minimal harga TBS di atas Rp3.000 per kg baru bisa menutupi biaya petani yang ada. “Saat ini jumlah produksi sawit di Provinsi Sumsel mencapai 3.323.670 per ton CPO tahun 2020, meningkat 3.445.027 per ton CPO tahun 2021,” imbuhnya. Untuk lahan kelapa sawit di Provinsi Sumsel mencapai 1.221.374 hektare tahun 2020, naik menjadi 1.233.259 hektare tahun 2021.“Jumlah petani sawit ada sebanyak 224.658 kepala keluarga (KK) di 2020 dan 227.251 KK di 2021. Terjadi peningkatan pembukaan lahan dan petani sawit di Provinsi Sumsel,” bebernya. Meski demikian resesi ekonomi yang terjadi di Negara Eropa sekarang ini lantaran dampak krisis energi dan pangan, dapat memicu meningkatnya ekspor. Naiknya permintaan ekspor akan berdampak pada meningkatnya harga TBS ke depan. Baca Juga : Polisi Tambah 7 Kamera ETLE, Ini Lokasinya Kasi Agro Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Diperindag) Provinsi Sumsel, M Rizal Umat ST MBA, mengatakan, komposisi B35 yakni kelapa sawit 35 persen dan sisanya BBM solar. Kemungkinan penyerapan mencapai 35 persen buah sawit milik petani yang ada. Apakah ada kemungkinan harga TBS naik, lanjut dia, harga sawit mengikuti mekanisme pasar. "Kalau permintaan tinggi, kemungkinan ada penyesuaian harga TBS," pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua DPD Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel, Alex Sugiarto, mengatakan, salah satu pertimbangan produksi B35 yakni ketersediaan pasokan bahan baku CPO. Selain itu, kapasitas produksi badan usaha bahan bakar nabati juga perlu diperhatikan. Baik dari aspek kesiapan pasokan, distribusi, termasuk infrastruktur penunjang dan standar spesifikasi yang harus dipenuhi."Kebijakan menerapkan B35 per 1 Februari 2023 akan meningkatkan alokasi biodiesel sebanyak 13,14 juta kilo liter (KL) atau sekitar 19 persen dibandingkan alokasi 2022 yang hanya sebesar 11,02 juta KL," papar Alex. Artinya, konsumsi minyak sawit dalam negeri akan naik seiring kenaikan alokasi biodiesel ini. Hal ini didukung adanya Keputusan Dirjen Perdagangan Luar Negeri No 19/Daglu/Kep/12/2022, pada 29 Desember 2022. Baca Juga : Awal Munculnya Mitos Antu Banyu Palembang, Sampai Sekarang Sulit Dibuktikan Menurutnya, langkah yang diambil pemerintah ini bertujuan menjaga pasokan/konsumsi dalam negeri menjelang bulan Ramadan dan libur Idulfitri. Sekaligus menjaga harga sawit. Tahun ini diperkirakan terjadi perlambatan perekonomian dunia sehingga permintaan minyak sawit global kemungkinan turun. Juga datangnya musim panen minyak nabati pesaing di negara lain. “Dengan adanya kebijakan ini, pengusaha sawit berharap pasokan atau konsumsi minyak sawit dalam negeri dan harga sawit tetap terjaga,” terang Alex. (yud/fad)
Kategori :