PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Bulan madu petani karet di Sumsel dengan kondisi harga saat ini yang cenderung membaik bakal terancam ke depannya. Ancaman itu datang dari rencana pemberlakuan aturan baru dari negara-negara Uni Eropa terkait regulasi bebas deforestasi.
Ketua Gapkindo Sumsel, Alex K Eddy menjelaskan aturan tersebut mengenai ekspor karet ke Uni Eropa wajib menyertakan data-data asal (tracebility) titik koordinat, keabsahan lahan petani, dan beberapa aspek legal lainnya guna memastikan produk yang di-ekspor bebas deforestasi. “Semua pabrik sedang memenuhi persyaratan ini, dan pemerintah kita juga sedang berjuang melobi negara-negara Uni Eropa," jelasnya.
Aturan ini bekal berpengaruh signifikan sebab Uni Eropa merupakan 20 persen pasar ekspor karet Sumsel. Yang jadi persoalan, aturan juga berlaku untuk produk turunan karet yang diproduksi negara-negara seperti Korsel, Jepang, dan Amerika Serikat. "Seandainya mereka (negara produsen, red) mau ekspor ban misalnya, ke Uni Eropa juga terkena aturan ini, karena bahan baku mereka dari karet wajib terkena aturan ini," katanya.
Rudi Aprian, Pembina Asosiasi UPPB Sumsel mengatakan dampak paling signifikan dirasakan oleh petani, apalagi sekitar 95 persen petani karet Sumsel merupakan pekebun rakyat. "Upaya petani karet meningkatkan pendapatan dan produksi di tengah harga yang rendah semakin sulit, ditambah lagi sejumlah aturan aspek legal yang harus dipenuhi dan ini berdampak pada rantai pasok karet di pasar global," jelasnya.
BACA JUGA:Ekspor Komoditi Karet Turun 40 Persen, Sejak Lima Tahun Terakhir
BACA JUGA:Gunakan Peluru Karet Bubarkan Massa, Tak Puas Hasil Penghitungan KPU
Pemenuhan standar ini, ucap Rudi, tak akan mampu dipenuhi petani karet alam dan negara produsen karet alam. Pihaknya saat ini hanya bisa menyarankan petani karet yang belum bergabung di kelompok tani atau Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) untuk segera bergabung dan memperkuat UPPB.
Sebab, pembinaan kata dia hanya bisa dilakukan pemerintah melalui kelompok tersebut. “Semoga pemerintah dan pemangku kepentingan dapat mengambil langkah-langkah untuk menemukan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan dan tidak menimbulkan potensi hambatan perdagangan dan mengganggu rantai pasok karet global, sekaligus menjaga lingkungan dan kesejahteraan petani karet alam," harap Rudi.
Akhip Muzakki, Pengurus UPPB Di Bayung Lencir Muba mengatakan baik melalui UPPB maupun tengkulak, semua harus memenuhi kewajiban regulasi bebas deforestasi dimaksud. “Di UPPB sudah dilakukan upaya tracking dan pengecekan koordinat asal karet. Di tengkulak juga sama, sekarang supplier juga diminta pabrik untuk memenuhi kewajiban itu, pabrik sekarang sudah melakukan pengecekan,” terangnya.
BACA JUGA:Dampak Musim Kemarau, Produksi Karet di OKU Timur Alami Penurunan Signifikan
BACA JUGA:Impor Beras-Karet Dongkrak Penerimaan Negara
Yang jadi persoalan lagi, sistem yang digunakan tiap pabrik berbeda dalam melakukan tracebility tersebut. Belum ada tool nasional yang bisa diterapkan, sehingga ada standar dan keragaman yang tidak menyulitkan baik petani maupun supplier. “Yang jelas aturan itu, kalau sampai pabrik menolak karet yang masuk. Ya pasti ujungnya ke harga yang jatuh, pabrik menekan ke supplier, supplier ya ke petani,” tukasnya.
Dia mengungkap, saat ini sebetulnya harga sudah membaik dan cukup stabil, tidak terjadi fluktuasi harga yang signifikan. Akhip mencontohkan, saat ini harga di tingkat UPPB kisaran Rp13-15 ribuan, sedangkan harga di tengkulak kisaran Rp11 ribuan. “Problemnya di produksi kak, banyak penyebabnya seperti penyakit. Kemudian kalau sekarang banyak hujan, juga bakal berkurang 50 persen, karena kadar air tinggi,” pungkasnya.