Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 1 tahun 2024mempertegas Informasi Elektronik dan/ atau DokumenElektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimanadimaksud pada ayat (1) merupakan perluasandari alat bukti yang sah sesuai dengan HukumAcara yang berlaku di Indonesia.
Pasal ini merupakan suatu jawaban dari aturan hukum acara yang sudah usang dan harus mengalami pembaharuan. Pada hakikatnya, hukum itu bersifat dinamis dan tidak statis. Hukum harus mengikuti perkembangan sosial masyarakat itu sendiri.
Jika fenomena digitalisasi sudah begitu masif terjadi dalam lingkup nasional bahkan global, sudah sepatutnya peraturan hukumnya juga ikut menyesuaikan dengan dinamika perubahan tersebut.
Namun, masalah hukum di dunia maya seyogianya tidak harus berfokus kepada pemberantasan saja. Legalisasi informasi dan dokumen elektronik yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 tahun 2024, jangan hanya diposisikan sebagai perlindungan hukum yang represif.
Artinya, jika kasus hukum berkaitan dengan siber berpotensi telah terjadi, maka pasal tersebut dapat dipakai untuk menetapkan keabsahan kasus hukum hingga pelaku kejahatan.
Selain perlindungan hukum bersifat represif, ada juga perlindungan hukum yang bersifat preventif yaitu perlindungan hukum yang tujuannya untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran.
Sebagian besar pola penegakan hukum terkait kejahatan siber masih didominasi kepada orientasi upaya represif dibandingkan preventif. Padahal, upaya represif tidak sekedar menangkap pelaku kejahatan saja.
Para penjahat di dunia maya dapat memanipulasi keberadaan dirinya agar dapat mengelabui aparat penegak hukum yang secara mencarinya.
Berbagai macam cara muslihat dilakukan dengan menggunakan akun palsu, nama domain palsu, dan sejenisnya.
Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak mulai dari aparat hingga masyarakat, yang harus waspada dalam memanfaatkan platform teknologi yang digunakan.
Sekalipun eksistensi alat bukti digital sudah disahkan melalu undang – undang. Namun, dampak dari kejahatan siber sangat jelas memberikan kerugian materil dan immateril begitu besar.
BACA JUGA:Edukasi Siswa Bermedsos, Pahami UU ITE
BACA JUGA:Cegah Para Pelajar Terjerat UU ITE
Salah satu contohnya ialah kasus peretasan PDN yang baru – baru ini terjadi.
Jika ingin mengutip bahasa dalam dunia kesehatan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Maka dari itu, eksistensi alat bukti digital sudah sepatutnya tidak hanya fokus dalam mengungkap kasus hukum, tetapi harus ditafsirkan juga sebagai upaya untuk mencegah kejahatan yang dapat mengusik kedaulatan digital di bumi ibu pertiwi (*)