Palembang, SUMATERAEKSPRES.ID - Usai menggelar Festival Musim Semi atau Tahun Baru Imlek belum lama ini, dalam waktu tidak lama lagi warga keturunan Tionghoa akan melaksanakan Festival Cheng Beng yang dirayakan tanggal 5 April tahun Masehi.
Kemudian berlanjut Festival Musim Panas yang dilaksanakan tanggal 5 bulan ke lima tahun lunar. Selanjutnya pada tanggal 15 bulan ke delapan tahun lunar ini digelar Festival Musim Gugur yang terakhir dari lima festival besar warga Tionghoa itu yakni Festival Musim Dingin digelar setiap tanggal 22 Desember. BACA JUGA:Ungkapan Rasa Syukur, Gelar Imlek Bersama BACA JUGA:Imlek Bersama Beri Keberkahan dan Kebahagiaan Selain lima festival besar yang setiap tahun selalu dirayakan, masyarakat keturunan Tionghoa juga mengenal dua persembahyangan teruntuk keluarga yang telah meninggal dan sampai saat ini masih terus dilaksanakan ataupun digelar. Yakni Sembahyang Cheng Beng di tiap bulan ketiga tahun lunar dan juga bulan ketujuh tahun lunar yang dikenal sebagai Cioko atau Chau Tu. Walaupun memiliki kesamaan yakni bentuk sembahyang bagi mereka yang meninggal, di sisi lain juga memiliki perbedaan dan jua pembeda yang sangat jelas bagi keduanya. Dimana, untuk Cheng Beng sembahyang ke orang y ang meninggal, namun yang sudah meninggal ini masih dikenali atau memiliki kerabat yang masih menyembahyanginya. Sedangkan untuk Cioko atau Cit Gwee bagi sebagian masyarakat menyebutu demikian, dilakukan untuk mereka yang meninggal. Di sini beda, khusus untuk Cioko mereka yang akan disembahyangin tersebut tidak dikenal atau sudah dilupakan kerabatnya atau bisa juga semua kerabat dari mereka sudah meninggal semuanya. " Biasanya itu untuk Cheng Beng sembahyang untuk tiap leluhur atau kerabat yang kita meninggal lebih dulu, karena masih mengenalnya jadi kerabatnya Sembahyang untuk mereka tadi. Kalau Cioko beda lagi, mereka yang sudah meninggal ini sudah tidak dikenali ataupun dilupakan keluarga. Bisa jua mereka masih dikenali, namun semua kerabat yang biasa sembahyang untuk mereka tadi meninggal semua," urai Ketua Martrisia Komda Sumsel Chandra Husien, Jumat (1/3). Selama pelaksanaan Cheng Beng, biasanya diawali dengan membersihkan makam atau kuburan dari mereka yang meninggal dari semak belukar. Sehingga hal ini yang latari Cheng Beng yang berarti bersih atau terang tersebut. Makna ini mengacu pada makam leluhur yang telah dibersihkan tersebut. BACA JUGA:Berharap Keberkahan, Sembelih Kambing Berwarna Hitam, Cap Go Meh Dongkrak Kunjungan Wisatawan BACA JUGA:Keramaian Cap Go Meh di Pulau Kemaro Jadi Magnet Kawanan Pencopet, Apes 3 Orang Tertangkap Tangan Setelah makam tersebut bersih dan terang, warga keturunan Tionghoa akan mulai melaksanakan sembahyang untuk mereka tadi atau lebih dikenal tradisi Tee Coa dengan Ko Coa atau melemparkan kertas emas dan perak yang disebut Gin Cua dan Kim Cua yang menjadi penanda makam leluhur yang sudah selesai disembahyangi. "Kalau untuk cerita dan latarbelakang dari perayaan Cheng Beng sangat banyak, akan tetapi semuanya mengajarkan kita supaya berbakti ke orangtua dan para leluhur yang telah mendahului kita tersebut. Sekaligus jua untuk mengingat jasanya yang sangat besar ke kita sebagai generasi penerusnya tersebut," pungkasnya. (afi/lia)
Kategori :