DUA capres didukung oleh pemilik media yang begitu besar. Dua-duanya gagal masuk putaran dua. Satu capres lagi tidak didukung pemilik media: perolehan suaranya mengejutkan, 60 persen.
Walhasil, media sebagai kekuatan besar sudah jadi ''omon koson'' –jiplak istilah populer di debat capres.
Semua orang kini punya medianya sendiri-sendiri. Independen. Hilanglah adagium lama: siapa menguasai media ia/dia menguasai dunia. Omon koson.
Hilang juga kebanggaan lama: mendirikan pers sebagai alat perjuangan. Matilah sudah: pers perjuangan. pers perjuangan juga omon koson.
BACA JUGA:Food Estate
BACA JUGA:Beras Bansos
Berjuang untuk ''membela kepentingan umum'' sudah lewat. ''kepentingan umum'' sudah kalah oleh ''kepentingan diri sendiri''. Doktrin ''what it mean to us'' sudah kalah dengan ''what it mean to me''.
Mulai hilangnya makna ''what it mean to us'' sekaligus berarti hilangnya prinsip gotong royong dalam budaya lama kita.
Pahit sekali untuk mengatakan ini: kita sudah kehilangan ajaran gotong royong. Ada yang sudah mengakui kenyataan itu. Ada yang masih mengucapkannya di pidato-pidato.
Bahkan masih ada yang mengharapkan gotong royong digalakkan lagi: demi melestarikan warisan leluhur yang luhur.
BACA JUGA: Madura Kaili
BACA JUGA:Hilirisasi Rudi
Misi media untuk kepentingan umum sudah benar-benar berakhir. Media hanyalah untuk kepentingan pemilik media. Dulu pun begitu: tapi tidak semutlak sekarang.
''Kepentingan umum'' jadi barang langka. Ia telah digantikan oleh ''kepentingan diri sendiri''. Tentu itu sesuai dengan naluri manusia, salah satunya, adalah serakah. Naluri yang lain: mementingkan diri sendiri.
Yang masih memberikan harapan adalah: manusia juga punya naluri untuk mendapatkan kehangatan, pengakuan, dan cinta dari orang lain.
Hanya dengan bersikap baik, sopan, dan produktif maka orang bisa mendapatkan kehangatan, pengakuan, dan cinta dari orang lain itu. Gotong royong hilang, tapi orang masih tetap perlu orang lain. (dahlan iskan)