RALAT, kejujuran, dan nasi bungkus bisa menyelesaikan demo itu: nabi tertulis babi. Gara-gara di keyboard komputer letak huruf N ditempatkan di sebelah huruf B (BACA JUGA:Tetangga N).
Tidak di Sumut. Di sana demonya ricuh. Kantor koran dibakar, komputer dirusak. Kaca-kaca dipecah. Pimpinan tertinggi koran itu memang tinggal di Batam: Marganas Nainggolan.
Demo tidak langsung bisa diredam. Marganas harus terbang dulu ke Medan. Lalu naik mobil ke Siantar. Di Siantarlah koran itu dicetak. Di Siantar pula pemrednya berkantor.
Demonya sendiri di Sibolga. Masih perlu enam jam lagi naik mobil dari Siantar. Setelah rapat satu jam di Siantar, Marganas tahu duduk perkaranya: wartawan diundang meliput acara kecil: Maulid Nabi Muhammad di Sibolga.
BACA JUGA:GovTech Anas
BACA JUGA:Tetangga N
Keesokan harinya beritanya dimuat di Harian Metro Tapanuli. Huruf N tertulis B. Heboh. Keesokan harinya 1000-an massa membakar dan merusak kantor koran itu.
Hari ketiga demonya lebih besar. Massa mendatangi DPRD Tapteng di Sibolga. Massa menuntut agar harian Metro Tapanuli ditutup. Padahal di edisi hari itu sudah ada ralat, permintaan maaf dan duduk soalnya.
Tuntutan massa itu dibahas di pleno DPRD. Tapi belum bisa ada keputusan. Marganas masih dalam perjalanan dari Batam.
Hari ketiga barulah Marganas tiba di Sibolga. Ia dipanggil dua instansi sekaligus: polisi dan DPRD. Pidana dan politis.
Begitulah beratnya jadi pimpinan koran. Pun di zaman setelah reformasi: 2008.
BACA JUGA:Extra Fast
BACA JUGA:Bursa Warung
Marganas sudah tahan banting. Ia pekerja keras. Tahan menderita. Bekerja siang malam. Sejak ketika fasilitas dan gaji masih sangat kecil.
Sampai di kantor polisi, Marganas tidak sempat diperiksa. Massa sudah kembali memenuhi DPRD Tapteng.
Marganas pindah ke DPRD. Ada sidang pleno di lembaga wakil rakyat itu.
Marganas menjelaskan apa adanya: berita itu ditulis dengan niat baik –menyiarkan acara Maulid Nabi. Wartawan yang menulis beritanya pun beragama Islam.