Najis ‘ainiyah adalah najis yang berwujud maksudnya terdapat warna, bau, atau rasa), sedangkan najis hukmiyah adalah najis tak berwujud yakni tak ada warna, bau, atau rasa, namun tetap secara hukum berstatus najis.
Cara menyucikan kedua najis itu juga berbeda. Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’în bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmâtid Dîn menjelaskan bahwa najis 'ainiyah disucikan dengan cara membasuhnya hingga hilang warna, bau, dan rasanya. Sementara najis hukmiyah disucikan dengan cara cukup menuangkan air sekali di area najis.
Dalam kasus najis bekas air kencing ataupun kotoran yang menempel di kasur ataupun karpet maka merupakan najis ‘ainiyah akan dianggap berubah menjadi najis hukmiyah ketika air kencing tersebut mengering hingga tak tampak lagi warna, bau, bahkan rasanya. Bagaimana caranya membersihkanya?
Pertama, membuat najis ‘ainiyah pada karpet atau kasur berubah menjadi najis hukmiyah, dengan cara membersihkan areal yang terkena najis itu sampai tidak terlihat warna, bau, dan rasanya tapi cukup dengan perkiraan, bukan menjilatnya.
Pada tahap ini kita bisa menggunakan sedikit air, menggosok, mengelap, dan lainnua. Kemudian, biarkan permukaan mengering, dan tandai area bekas najis itu karena secara hukum tetap berstatus najis.
Langkah selanjutnya, setelah arwal najis yang sudahbdibersihkan mengering, kita tuangkan lagi air yang suci-menyucikan, namun cukup di area najis yang ditandai tadi, maka sucilah kasur atau karpet tersebut, meskipun air dalam kondisi menggenang di atasnya atau meresap ke dalamnya.
Nah, Cara yang sama juga bisa kita lakukan pada najis yang mengenai lantai ubin, sofa, bantal, permukaan tanah, dan lain-lain.
Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari menerangkan, Artinya: “Seandainya ada tanah yang terkena najis semisal air kencing lalu mengering, lalu air dituangkan di atasnya hingga menggenang, maka sucilah tanah tersebut walaupun tak terserap ke dalamnya, baik tanah itu keras ataupun gembur.” (Syekh Ahmad Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’în bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmâtid Dîn [Beirut: Dar Ibnu Hazam, 2004], halaman 78)
Keterangan tersebut berlaku untuk najis level sedang (mutawasithah) seperti ompol bayi usia lebih dari dua tahun, kotoran binatang, darah, muntahan, air liur dari perut, feses, atau sejenisnya.
Sementara air kencing bayi laki-laki kurang dua tahun yang belum mengonsumsi apa pun kecuali ASI, maka masuk dalam kategori najis level ringan atau mukhaffafah.
Najis kategori tersebut bisa disucikan dengan hanya memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Tidak disyaratkan air harus mengalir, hanya saja percikan mesti kuat dan volume air harus lebih banyak dari air kencing bayi tersebut. Namun, bila air kecing itu mengering, kucuran sekali air sudah cukup menyucikannya. Wallahu alam.