Di usianya yang sudah lebih 60 tahun dengan kondisi kesehatan agak menurun, Jaid Saidi masih aktif berkesenian melatih teater dan baca puisi di beberapa sekolah di Palembang. Pria yang sering mengenakan topi dalam penampilannya ini, lahir di Palembang, 19 Desember 1959.
Perhatiannya terfokus pada dunia kebudayaan dan kesenian terutama teater dan puisi. Lantaran ia juga pendidik, kegiatan berkesenian didedikasikan juga untuk pendidikan seni. Sebagai penyair, Jaid Saidi terkesan konsisten dan produktif. Komitmennya di lapangan puisi ini ditandai oleh diterbitkannya buku kumpulan puisi pribadi yang dibidaninya sendiri, yaitu “Sajak Mereka Yang Terluka”.
BACA JUGA: Soroti Cagar Budaya, Seniman dan Budayawan Turun ke Jalan
Bungsu dari tujuh bersaudara berteater sejak tahun 1980 di Teater Kembara Palembang. Tahun 1983 hingga 1988 bergabung dengan Bengkel Teater, pimpinan WS Rendra, Jakarta. Selain menjadi aktor, sering tampil membaca puisi, baik karya sendiri maupun karya penyair lain. Dalam kurun waktu 1981—1985, meraih 15 penghargaan sebagai juara pertama di berbagai lomba baca puisi. Pada kurun waktu itu juga, menulis puisi yang beberapa di antaranya digunakan oleh Ian Antono dan Iwan Fals menjadi lagu. Sampai saat ini Jaid Saidi masih aktif sebagai penyair dan aktor pada teater. Kini, aktivitas Jaid Saidi menduduki sebagai anggota Komite Teater Dewan Kesenian Palembang (DKP), sekaligus komitmen dalam menulis puisi dan melatih teater di Palembang.
Jaid Saidi-foto IG-
Sebagai seniman jalanan, ia pernah menjadi aktor terbaik dalam Festival Teater yang diselenggarakan oleh BKTSS. Tahun 1996, juga terlibat dalam pementasan Bengkel Teater Rendra dalam naskah “Panembahan Reso” di Istora Senayan, Jakarta. Berlakon sebagai Pangeran Bindi. Untuk dunia sinetron, menjadi aktor dalam Bawang Emas dan Opera Odoi di TPI pada tahun 1992. Di stasiun televisi itu juga (TPI) menjadi penulis skenario sekaligus sutradara dalam beberapa tayangan “Dul Muluk Modern”, pada tahun 1991—1992.
BACA JUGA:Kenalkan Potensi Kesenian dan Budaya
Hal yang layak dicatat, bukanlah jumlah penyair atau kuantitas puisi yang dimuat dalam buku, melainkan bagaimana kisah di balik obsesinya seperti pengungkapkan pesan moral, yang selalu berkecamuk di dalam diri pengarang. Obsesi Jaid Saidi yaitu ingin menegakkan kebenaran dan keadilan, seperti dalam puisi “Kambing Hitamlah Kami”. Tema-tema sosial merupakan tema yang menonjol yang menjadi sentral pembicaraan dalam puisi karyanya.(*)