BACA JUGA:Panas Nyata
BACA JUGA:Rektor Tengah
Ternyata tidak semudah itu. Emas itu harus dijual dulu dengan nilainya yang rendah. Sangat tidak masuk akal. Itu karena anting-anting yang tinggal sebelah dianggap barang rongsok.
Saya masih berargumen dengan hitung-hitungan saya, tapi itu tidak berguna. Caranya melayani pun dengan tidak ramah, sangat berbanding terbalik ketika melayani saya sebagai pembeli.
Lihatlah caranya menolak, ia bilang, "coba saja ke toko lain". Saya pun ke toko di sebelahnya, sama. Akhirnya saya relakan saja, berapa pun nilai yang dia mau bayar.
Tentang liontin permata untuk ibu, itu saya beli di Thailand. Ke sana ketika mendapat hadiah grand prize dalam acara kantor. Bersama Mas Nanang Prianto sekeluarga.
BACA JUGA:Emas Natal
BACA JUGA:Emas Eksi
Ia juga menerima hadiah grand prize di kantor Surabaya. Saya dan anak saya diajak ke salah satu destinasi wisata, ke sebuah tempat yang dibuat seolah-olah lokasi penambangan emas.
Kami dibawa menyusuri lorong bawah tanah, menyaksikan diorama bagaimana penambang emas itu bekerja dengan segala kesulitan dan risikonya.
Juga cara bagaimana batuan emas itu diolah, dimurnikan dengan tungku panas. Kami tahu melalui narasi yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia.
Di kereta yang membawa kami ada tombol pilihan bahasa apa yang mau kami dengar. Sekeluarnya dari lorong gelap itu, kami diperlihatkan bagaimana cara perajin emas bekerja.
BACA JUGA:Emas Ton
BACA JUGA:Darmawan Wigwam
Dari balik kaca. Saya mengamati betapa sulitnya perhiasan itu dibentuk, pun sekadar sebuah cincin yang sederhana.
Jadi memaklumi mengapa dalam transaksi pembelian emas ada yang diperhitungkan sebagai ongkos. Setelah melihat pandai emas itu bekerja, kami diarahkan ke suatu tempat.