Tapi dunia bisnis kadang punya wataknya sendiri. Murah, biar pun mutunya sama, belum tentu dibeli. Apalagi kalau aturan birokrasi ikut menciptakan watak itu. Bahkan ikut bermain di dalamnya.
Reagen untuk memeriksa kanker mulut rahim itu misalnya, yang impor seharga Rp 600.000. Andani hanya menjualnya Rp 125.000. Ini bukan lagi turun. Ini terjun bebas.
Demikian juga reagen untuk tes penyakit tifus. Bisa turun lebih dalam lagi: Rp 100.000. Ini bukan saja membuat Andani seorang ilmuwan sejati, tapi juga ilmuwan sejuta umat.
Semua itu berangkat dari niat Andani: tidak semata-mata berbisnis. Ada unsur perjuangan di dalamnya. ''Saya ingin membuka mata masyarakat bahwa dengan Rp 100.000 itu saja sudah untung,'' katanya.
Itulah Andani. Praktik dokternya pun begitu. Tidak punya tarif. Bayar silakan. Tidak mampu tidak usah bayar.
Pun saham 20 persennya di PT CTI itu. ''Saya hanya akan ambil uangnya 3 sampai 5 persen saja. Selebihnya untuk perjuangan,'' katanya.
Dan yang disebut ''perjuangan'' itu adalah: mewujudkan kemandirian bangsa di bidang alat-alat kesehatan.
Andani memang tidak masuk dalam daftar ilmuwan terbaik yang viral itu. IlmuwankahAndani?(*)