Pangkat terakhir Doni lebih tinggi dari peraih Adhi Makayasa tahun itu: I Made Agra Sudiantara. Doni bintang tiga. Made bintang dua. Made juga tidak pernah jadi pangdam. Sedang Doni dua kali jadi pangdam: di Pattimura, Maluku dan di Siliwangi, Jawa Barat.
Made meninggal dunia di umur 50 tahun, sekitar 10 tahun lalu. Doni meninggal di usia 60 tahun 3 Desember tahun ini.
Di semua jabatannya itu Doni seperti habis-habisan. Namanya pun menjadi lebih besar dari jabatannya –untuk meminjam istilah Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI FaridMakruf yang sebentar lagi pindah ke Jakarta menjabat Kaskostrad.
Waktu jadi pangdam Siliwangi,Doni menjalankan proyek besar sekali di bidang lingkungan hidup: membersihkan alur sungai Citarum. Menyeluruh. Di sepanjang wilayah Jawa Barat. Tidak hanya sungainya yang dibersihkan. Pinggirnya juga dihijaukan. Agar erosi yang masuk Citarum terkendali.
Doni adalah pecinta pohon. Levelnya: gila tanaman. Doni-lah yang menanam begitu banyak trembesi di lingkungan bandara Lombok. Setiap ke bandara Lombok saya seperti bertemu Pak Doni. Pun di bandara Hasanuddin Makassar. Penuh pohon trembesi. Doni-lah yang menanamnya.
Di mana saja Doni menanam pohon. Teman-temannya dikirimi bibit pohon buah unggulan. Belakangan Doni merambah program menggalakkan pembiakan pohon langka. Egy Massadiah punya daftar pohon langka yang dikembangkan Dony.
Egy adalah wartawan, penulis buku dan teman dekat banyak perwira tinggi. Waktu saya ke pusat pengendalian Covid, Egy juga terlihat bersama Pak Doni. Egy juga tidak pernah pulang.
Bahkan ketika helikopter Pak Doni terombang-ambing angin ribut di pulau Miangas, Egy ada di dalam helikopter itu. Pak Doni selamat dari kecelakaan heli yang akan bisa menewaskannya.
Pak Doni selamat. Pun dalam badai Covid, Pak Doni juga selamat. Tapi Pak Doni sebenarnya kurang sehat. Sejak lama. Sejak hampir 10 tahun lalu. Kalau saja beliau sehat rasanya akan bisa jadi KSAD. Atau panglima TNI.
Pak Doni punya masalah kesehatan yang umum dialami banyak laki-laki berumur: prostat. Saya termasuk yang menyarankan agar beliau dioperasi di Singapura tanpa takut dinilai kurang nasionalis. Itu karena teman saya, orang Singapura, baru saja berhasil mengatasi kanker prostat dengan cara operasi.
Penderita kanker prostat baiknya jangan menunda operasi. Pun bila dilakukan di dalam negeri. Kian telat kian sulit diatasi. Kondisi beliau pun kian kurang baik. Pembuluh darah di otaknya pecah. Tidak sadarkan diri. Setelah 2,5 bulan di rumah sakit beliau meninggalkan kita selamanya.
Jasanya begitu besar bagi bangsa. Penduduk Indonesia hampir sama dengan Amerika. Ekonomi Indonesia jauh sekali di bawah Amerika. Tapi korban Covid Indonesia begitu sedikit dibanding Amerika.
Pak Doni termasuk yang mendukung pemerintah untuk tidak melakukan lockdown secara nasional di saat Covid. Kebijakan itu akhirnya terbukti berhasil.
Doni Monardo ikut menyelamatkan kita semua. Pun di saat beliau sendiri sebenarnya sudah tahu: kanker sedang mengancam keselamatannya.(*)