SUMATERAEKSPRES.ID - SAYA sudah satu minggu di Tiongkok. Baru sekarang bisa menulis perjalanan ini. Hari-hari kemarin penuh gempita dengan gegapnya: soal calon presiden dan wakilnya. Begitu tersiksa mereka yang tidak suka berita politik itu-itu saja.
Saya harus ke Tianjin gara-gara ini: kehabisan Baraclude. Dulu pernah ada dijual di Surabaya. Atau di Jakarta. Kini tidak ada lagi. Semua apotek besar sudah dihubungi Kang Sahidin: ''tidak punya Baraclude''. Pun di Jakarta.
Obat ini mahal: satu bulan habis Rp 5 juta. Pembelinya sedikit. Hanya orang seperti saya. Untuk apa apotek punya stok Baraclude. Jarang lakunya.
Yang sedikit orang itu pun selalu punya stok sendiri di rumah. Seperti saya. Setiap enam bulan harus kontrol ke rumah sakit 天津第一中心医院 Tianjin. Tentu sekalian beli Baraclude. Dan obat lainnya. Untuk stok enam bulan ke depan.
Enam bulan lalu saya ke Tianjin. Lewat Beijing. Kali ini lewat Hong Kong. Persediaan Baraclude terakhir saya minum di Hongkong. Habis. Toh sorenya sudah tiba di Tianjin. Bisa langsung beli untuk minum hari berikutnya.
Baraclude harus diminum setiap hari. Pada jam yang sama. Agar efektif. Itu untuk mencegah virus hepatitis B beranak-pinak. Agar tidak jadi hepatitis kronis: hati kena sirosis. Atau jadi kanker hati. Seperti yang menimpa saya dulu.
Meski hati saya ''baru'', virus hepatitis sudah ikut beredar di darah. Lalu masuk ke hati yang baru. Kalau dibiarkan bisa berkembang lagi. Jadi kronis. Maka saya harus mencegahnya: jangan berkembang lagi.
Setelah 10 tahun minum Baraclude, saya pernah ngotot ke dokter di Tianjin: bolehkah berhenti. Pikiran saya: dalam 10 tahun seharusnya hati milik orang lain yang ada di tubuh saya sudah menyatu. Dokter ahli saya di Indonesia juga membolehkan dihentikan. Terutama setelah melihat hasil tes darah saya yang bagus.
Apa jawaban dokter di Tianjin?
''Tidak boleh berhenti,'' kata dokter itu. Tegas. Pasti. Tidak bisa ditawar.
''Takut apa?'' tanyanya.
Saya gelagapan menjawabnya. Harus cari alasan yang tepat. Tidak baik untuk mengatakan ''atas saran dokter saya di Indonesia''. Juga tidak masuk akal kalau saya beralasan ''Rp 5 juta sebulan''.
Saya temukan jawaban itu: ''Saya takut efek sampingnya,'' jawab saya sekenanya.
''Ini Baraclude dosis yang paling kecil. Hanya 0,5 mg. Tidak pantas ditakutkan,'' katanya.
Sejak itu saya meneguhkan tekad: tidak akan mengajukan usul seperti itu lagi. Tidak akan berhenti minum obat itu. Seumur hidup. Pun, setelah saya hitung: selama 17 tahun terakhir Baraclude yang saya minum sudah senilai sekitar Rp 1,2 miliar.