PALEMBANG - Mahkamah Agung (MA) memerintahkan KPU mencabut dua aturan yang dinilai mempermudah mantan narapidana kasus korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg). Hal tersebut berdasarkan dikabulkannya uji materi oleh MA atas Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023.
Seperti apa tanggapan pakar hukum tata negara, Prof Dr Febrian SH MS? Guru besar ini secara gamblang mengatakan memang ada variable yang bertentangan sejauh ini antara hak politik atau mengungkung hak politik seseorang terhadap hak politik seseorang. ‘’Barangkali disini MA berpendapat seyogyanya setelah dia selesai menjalankan hukumannya sebagai narapidana dia sudah dianggap berkelakuan baik,” jelasnya.
Dikatakannya, konsep narapidana itu adalah orang yang sudah selesai dengan kasusnya. ‘’Selanjutnya narapidana yang sudah menjalankan kasusnya dianggap sama dengan warga biasa, sehingga mantan napi koruptor diberikan kembali hak politiknya,” papar Febrian.
Febrian mengatakan, jika mereka mau kembali dalam dunia politik itu adalah hak mereka. ‘’Masyarakat memiliki hak untuk memilih atau tidak memilih. Makanya saya selalu menekankan pada portofolio, kumpulan dokumen yang berasal dari pribadi, kelompok, lembaga, organisasi, perusahaan dan sebagainya. Jika jelas orang tersebut adalah mantan, jadi ada hak politik masyarakat untuk tidak memilih,” ungkapnya.
Hal ini, lanjutnya, merupakan sanksi moral maupun sanksi politik yang cukup keras. ‘’Kalaupun dia maju lantas tidak dipilih masyarakat tentu ada rasa luar biasa ‘negatif’ dalam dirinya,” ungkap Febrian. (iol)