*Pemikiran Islam Kontemporer
Benarkah beragama yang baik secara individual, belum tentu menjamin baik secara sosial? Tulisan ini, mencoba menjawab pertanyaan tersebut, melalui konsepsi ihsan dan tasawuf dalam pemikiran Islam kontemporer. REALITAS ini, tampak dari berbagai fenomena yang semakin terus bertambahnya ketidakharmonisan sosial, baik dalam internal keyakinan (seagama) yang sama, terlebih dalam keyakinan (agama) yang berbeda. Termasuk merambah terhadap perbedaan-perbedaan etnis, ras, mazhab, politik, dan organisasi-organisasi lainnya. Mengantisipasi fenomena memilukan tersebut, Syekh al-Azhar Al-Sharif Prof Dr Ahmed Thayyib menyelenggarakan Konferensi Dunia untuk pembaharuan pemikiran Islam (al-Tajdidfii al-Fikr) melalui seminar internasional pada 27-28 Januari 2020 di Kairo Mesir. Para ulama Al-Azhar dan peserta konferensi sepakat mengumumkan 29 butir hasil kesimpulan konferensi global tersebut direkomendasikan kepada dunia, sambil mengumumkan pendirian pusat studi baru yang diberi nama Markaz al-Azhar li al-Trats wa al-Tajdid. Diharapkan ilmuwan, ulama, cendekiawan, peneliti dunia yang berminat dalam pembaruan pemikiran Islam untuk bersama-sama memanfaatkan pusat studi baru tersebut guna kepentingan dunia (rahmatan li al-‘Alamin). Fondasi Keberagamaan Islam Dalam khazanah pemikir- an Islam, baik klasik maupun kontemporer, dikenal 3 (tiga) kata kunci penting dalam pondasi keberagamaan Islam yaitu; Iman, Islam dan Ihsan. Apa Iman dan apa Islam tidak perlu dibahas karena sudah sangat dikenal meskipun masih perlu tetap dipahami hakekatnya. Fokus bahasan bermuara pada Ihsan. Ihsan didefinisikan ‘anta’buda al-allah ka annakatarahu, wa in lam takuntarahu fa innahuyaraka” (Hendaklah kamu menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya, dan seandainya kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatkamu). Dari definisi Ihsan tersebut, dan dalam keyakinan setiap Muslim, manusia selalu dilihat dan diawasi Tuhan. Karenanya, segala tingkah laku manusia, langkah-langkah manusia dalam berbuat, berperilaku, berkata, mengambil kebijakan dan lain sebagainya selalu dalam ‘pengawasan’ Tuhan. “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaf 18). Ketika ditelusuri lebih mendalam, kata Ihsan menunjukkan sasaran objek tertuju pada semua makhluk, terlebih berorientasi kepada ‘manusia’ yang secara individu betul-betul menyatu (wihdatu al-wujud) dengan Tuhannya dimulai sejak awal kehidupannya. Pemikiran demikian ini pasti, dan tidak dapat dielakkan oleh manusia di mana pun manusia di dunia ini bahwasanya “ruh” ditiupkan oleh Allah Swt, kepada manusia sebelum penglihatan, pendengaran, dan hati nurani bekerja aktif. Sebagaimana dijelaskan pada QS. As-Sajadah: 9 yang artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya RUH (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. Ihsan: Basis Kesalihan Individual Fenomena di atas, menunjukkan kesalihan pribadi/individu belum tentu berkorelasi positif dengan kesalihan sosial. Ada gap yang sangat tajam antara wilayah yang seharusnya (idealitas), yaitu das sollen dan wilayah yang senyatanya (realitas),yaitu das sein dalam kehidupan yang nyata. Mengapa, keyakinan adanya pengawasan Tuhan secara individu, begitu mudah saja dilupakan, jika manusia hidup berkelompok (berjamaah)? Terdapat realitas dalam kehidupan bahwa,“Tuhan hanya dirasakan adanya secara subjektif oleh individu-individu atau kelompok-kelompok yang terpenggal, tetapi kurang dirasakan secara objektif dalam kehidupan sosial yang luas dan majemuk”. Tasawuf: Basis Kesalehan SosialPeriode abad tengah kenya- taan historis menunjukkan, terjadi loncatan dinamika hubungan dan perjumpaan yang sangat komplek antara individu, pemahaman individu terhadap Tuhan dan kehidupan sosial yang mengitarinya maka dikenal apa yang disebut tasawuf. Jika iman membahas persoalan-persoalan yang terkait dengan akidah –atau Kalam dalam bahasan teoritisnya, dan Islam lebih terkait dengan diskusi fiqih yang membahas detil ritual peribadatan (mu’amalahma’a al-Allah wamu’amalahma’a al-Nas), dan lebih berdimensi eksoteris, maka tasawuf lebih mendiskusikan aspek ke dalaman atau dimensi esoteris dalam keberagamaan Islam, termasuk refleksi mendalam tentang apaesensi agama sesungguhnya dan bagaimana hubungan antara individu dan sosial-politik beragama. Tasawuf adalah bahasa klasifikasi atau kategorisasi keilmuan abad tengah Islam yang sangat lekat dengan perkembangan sejarah pemikiran Islam. Sedang Ihsan adalah terminologi era kenabian, sebelum pengembangan dan sistematisasinya pada abad tengah. Ibaratnya, meninggalkan Ihsan dan Tasawuf dalam pemikiran Islam sama dengan mempunyai badan tanpa ruh. Hubungan antara jasad dan jiwa begitu dekat, karenanya proses takhally, tahally, dan tajally adalah bagian kehidup- an agama yang perlu dihidupkan oleh siapapun dalam kehidupan keberagamaan yang otentik era kontemporer ini. Semoga bermanfaat. Amin YRA. (*)
Kategori :