Pendidikan Inklusi Untuk Semua

Rabu 06 Sep 2023 - 19:56 WIB
Oleh: Edi Purnomo

SUMATERAEKSPRES.ID - Pandangan stigmatis tentang Anak berkebutuhan khusus (ABK). Mereka masih dipandang sebagai problem sosial dan cenderung hanya dilihat sebagai beban masyarakat.

Secara umum, pendapat masyarakat mengenai ABK masih berkutat pada asumsi penyandang disabilitas dengan masalah medis dan masalah sosial. Atas nama kesamaan hak, derajat, harkat, dan martabat sebagai warga negara Indonesia bahkan sebagai warga dunia maka pendidikan untuk semua (education for all) sebagaimana dideklarasikan di Bangkok 1991 harus tetap dilaksanakan kapanpun. Sekolah inklusi bukan sekedar euforia perwujudan hak asasi manusia, tetapi sudah menjadi komoditas kebutuhan setiap manusia terutama yang menyandang predikat disabilitas.

Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa atau disabilitas. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan dalam belajar dan perkembanganya sehingga memerlukan pendidikan dan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya.

Sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak. Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu: anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, yaitu akibat dari kelainan/disabilitas tertentu (hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, antara lain: anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan perkembangan intelektual).

Anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer, yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat dan sesuai dengan hambatan belajarnya bisa menjadi permanen.

‘Inklusi’ berarti mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang humanis, pendidikan yang mampu memperhitungkan semua kepentingan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.

Pendidikan humanis ini dimaknai sebagai pendidikan yang dapat memberikan kenyamanan kepada peserta didik  dan juga kepada guru yang melaksanakan pembelajaran. Pendidikan humanis juga merupakan jembatan untuk memperpendek jarak antara anak berkebutuhan khusus dengan masyarakat.

Pendidikan inklusif menjadi sebuah sistem layanan pendidikan yang memberi kesempatan bagi setiap peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang layak secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya tanpa diskriminasi. Sistem pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan semua peserta didik didasarkan atas hasil need assessment.

Program Pendidikan Inklusif merupakan salah satu amanat dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif yang diperkuat dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 10 menyebutkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan.

Program Pendidikan Inklusif bertujuan untuk meningkatkan akses, mutu pelayanan pendidikan yang ideal bagi anak-anak berkebutuhan khusus dan memberikan jaminan untuk memperoleh hak pendidikan yang sama seperti anak-anak lainnya. Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara yang efektif untuk memerangi diskriminasi, menciptakan masyarakat terbuka, membangun suatu masyarakat yang inklusif, dan mencapai pendidikan untuk semua.

Untuk menyelenggarakan system pendidikan inklusi, hal prinsip yang tak dapat dihindarkan adalah melaksanakan proses pengembangan komponen system pengelolaan pendidikan di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi (SPPI). SPPI harus mewujudkan prinsip inklusifisme sejak dari perencanaan, proses penyelenggaraan, pemantauan atau pengawasan, hingga evaluasi dan penyusunan rencana tindak lanjut penyelenggaraan program sekolah.

Pengelola SPPI memiliki kewenangan dan oleh karenanya harus memiliki kemahiran dalam mengembangkan dan menyesuaikan kurikulum sebagai pedoman pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi individu peserta didiknya (terutama untuk peserta didik  yang memiliki kebutuhan khusus), termasuk penyelenggaraan program khusus.

Bentuk kurikulum pada SPPI adalah: a. Eskalasi/akselerasi yaitu program percepatan dan perluasan dalam hal waktu dan penguasaan materi. b. Duplikasi artinya kurikulum yang digunakan untuk peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) sama dengan kurikulum yang digunakan peserta didik pada umumnya yang non-PDBK. c. Modifikasi kurikulum umum dimodifikasi, disederhanakan tanpa harus menghilangkan substansi, dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan PDBK.

Kemudian, d. Substitusi beberapa bagian dari kurikulum umum diganti dengan sesuatu yang kurang lebih setara. e. Omisi: beberapa aspek tertentu kurikulum umum sebagian besar ditiadakan menyesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan PBDK, mereka dapat dibuatkan kurikulum khusus yang bersifat individual berdasarkan hasil identifikasi dan asesmen..

Pendidikan inklusi memberikan manfaat kepada anak kebutuhan khusus, sekolah dan masyarakat.

Manfaat kepada pihak sekolah yaitu sekolah tersebut dapat menjadi lebih responsif dan peka terhadap kebutuhan peserta didiknya sehingga dapat mengatasi persoalan dan hambatan  yang terjadi pada saat proses pembelajaran.

 Sedangkan bagi masyarakat pendidikan inklusi ini dapat mengajarkan nilai sosial berupa kesetaraan.

Pendidikan inklusi tidak melihat perbedaan antara satu anak dengan anak lainnya melainkan melihatnya sebagai suatu hal yang setara.

Inklusi mengajarkan bagaimana hidup dengan perbedaan dan bagaimana belajar dari perbedaan yang ada.

 Hal tersebutlah mengajarkan kita menganggap perbedaan itu menjadi suatu hal yang biasa.

Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat,

dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing sehingga dapat menyelesaikan masalah sosial bagi penyandang disabilitas.

Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap,

sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi. Salam Inklusi. Tidak ada manusia yang sempurna namun kita bisa mengupayakan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait