PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Isu deforestasi cukup berdampak bagi ekspor sawit Indonesia. Hal itu diakui Ketua DPW Apkasindo Sumsel, H Slamet Somo Sentono.
“Mungkin ada kelapa sawit ditanam di kawasan hutan, tapi kan tidak semua. Karena itu harus segera kita buktikan dengan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Sekarang sedang kita data para petani sawit yang belum ISPO supaya mengikuti proses sertifikasi,” ujarnya.
Untuk perusahaan perkebunan (perusahaan inti) sebagian besar sudah mengantongi ISPO.
Dikatakan, sertifikasi ISPO pekebun difasilitasi oleh Pemda melalui Dinas Perkebunan (Disbun).
Nanti Disbun menunjuk lembaga sertifikasi yang melakukan kegiatan audit bagi pelaku usaha perkebunan, baik kepada pekebun maupun perusahaan kelapa sawit.
“Sertifikasi ISPO bukan saja memenuhi permintaan pasar dan meningkat daya tawar produk CPO di pasar ekspor, tetapi lebih dari itu menjaga lingkungan dengan pengelolaan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO,” tegasnya.
Jika memperoleh ISPO, berarti kelapa sawit sudah ditanam di lahan yang baik, bukan di kawasan hutan lindung, area rambahan, dan lainnya.
Lahan perkebunan pun bersertifikat SHM atau SPH yang punya titik koordinat dan legal dibuktikan dengan STDB.
“Tapi kita tidak kekurangan akal. Seiring meningkatnya daya saing produk komoditas, pasar CPO kita alihkan ke India dan Tiongkok. Jadi tidak mesti tergantung pasar Eropa,” tuturnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel, Alex Sugiarto menjelaskan Gapki telah menyatakan keberatan atas kebijakan Uni Eropa terhadap sejumlah komoditas perkebunan seperti sawit, karena secara langsung dapat menjegal produk andalan Indonesia yang selama ini berkontribusi besar bagi kinerja ekspor Tanah Air.
Salah satu kebijakannya penerbitan Undang-Undang Anti Deforestasi (EU Deforestation Regulation/EUDR) Uni Eropa.
“Untuk itu Indonesia telah menerapkan sertifikasi ISPO sebagai bukti proses produksi berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tegasnya.
Selain menempuh jalur litigasi, Indonesia juga berencana mengalihkan pasar CPO dan turunannya dari Uni Eropa ke Tiongkok, Pakistan, AS, dan sejumlah negara di Afrika, serta menjajaki kerjasama dengan negara-negara Uni Ekonomi Eurasia termasuk Rusia.
“Saya kira bagi perusahaan atau pekebun yang sudah mengantongi sertifikasi ISPO dan RSPO, tentu meningkatkan daya tawar produk komoditasnya sehingga bisa diterima di pasar global manapun,” tuturnya.
Selain pasar ekspor, upaya lain meningkatkan serapan sawit di pasar domestik melalui hilirisasi produk turunan CPO, seperti Biodiesel B35, green gasoline, green avtur, dan lainnya.
Data BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), hingga Maret 2021 ada 5,78 juta hektaree (ha) lahan kebun sawit yang sudah bersertifikat ISPO dengan produksi 22 juta ton. Jumlah itu baru sekitar 45 persen dari 12,6 juta lahan kebun sawit produktif di Indonesia.
Sementara data Kementerian Pertanian RI, hingga 2022 baru 32 sertifikat ISPO yang dikeluarkan untuk pekebun atau sekitar 21 ribu hektare dari total luas perkebunan sawit rakyat 6,7 juta hektare. (fad)