Perjuangan Petani Menanam di Musim Kemarau
Tak banyak yang bisa diperbuat menghadapi musim kemarau saat ini. Karena kondisi kebun sayuran milik Slamet sudah kering. Tapi dia tak menyerah.
Dia pun harus mengeluarkan biaya lebih agar kebun ini bisa menghasilkan rupiah untuk keluarganya.
KHOIRUNNISAK -OKI
DI ATAS LAHAN kurang dari satu hektare terlihat tanaman timun dan pare yang mulai berbuah. Di musim panas ini Slamet, warga Kelurahan Tanjung Rancing Kecamatan Kayuagung, menanam tanaman tersebut.
Hal ini dilakukan agar kebun miliknya tetap menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk membiayai kebutuhan keluarganya.
Meski saat ini cuaca cukup panas tak membuat Slamet diam saja. Dia dengan semangat tetap mengurus kebun sayurannya agar bisa menghasilkan pundi-pundi uang dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
Dikatakannya, sekarang biaya membeli bensin untuk mengisi pompa air yang besar. Dia harus memakai selang sepanjang 200 meter dan menghidupkan mesin agar air bisa dialirkan ke kebun sayur miliknya. ‘’Setiap hari selama musim kemarau harus rutin melakukan
penyiraman. Minimal dua kali dalam sehari yakni pagi dan sore,’’ ujarnya.
Untuk menghidupkan mesin pompa, dirinya harus mengeluarkan biaya lebih. Biaya ini digunakan untuk membeli bensin sebagai bahan bakar pompa.
Selain menghadapi kendala soal cuaca yang panas, lanjutnya, dia juga harus berpacu melawan hama monyet. Hama ini sering kali memakan hasil tanaman timun dan pare.
‘’Jadi buahnya kecil-kecil. Biasanya lima hari hingga seminggu harus segera dipetik kalau tidak dimakan monyet,’’ ujarnya.
Bagi Slamet tak masalah buahnya kecil karena harganya juga cukup tinggi. Hanya saja untung yang didapat sedikit. ‘’Karena kita harus mengeluarkan banyak biaya khususnya ada tambahan biaya membeli bensin untuk mesin pompa air,’’ katanya. Tak hanya itu, Slamet
juga ternyata belum memiliki lahan atau kebun sendiri. Lahan yang selama ini dipakai untuk berkebun masih berstatus sewa.
‘’Saya harus membayar biaya sewa lahan setahun sekali ke pemiliknya yakni warga Tanjung Rancing. Jadi hitungannya tahun ini masih mendapatkan uang hanya sedikit tidak seperti tahun lalu akibat musim kemarau ini,’’ katanya.
Untuk penggunaan pupuk kimia di musim kemarau ini alami pengurangan. Tapi mereka tetap mengeluhkan mahalnya harga non subsidi yang tinggi di pasaran. “Kalau sekarang pupuk yang digunakan tidak terlalu banyak dibandingkan musim penghujan,”imbuhnya.
Meski Slamet pengurus dalam kelompok tani, tapi saat ada bantuan pupuk non subsidi dia tidak menerima bantuan pupuk tersebut. ‘’Jadi saya terpaksa membeli pupuk dengan harga tinggi. Jika tak dipupuk tanaman bisa mati,’’ ujarnya. Slamet mengaku kebingungan
dengan kondisi sekarang. Karena semuanya sulit. ‘’Tak berkebun sayur tidak ada kegiatan, karena selama ini adanya kebun ini sangat membantu perekonomian keluarga,’’ katanya. Dulu kalau sekali panen bisa dapat hingga 100 kg. Tapi sekarang tidak dapat lagi, buahnya
kecil-kecil. Bahkan pare yang dihasilkan ukurannya kecil sekali tidak bisa dijual. ‘’Kadang kalau ada warga yang datang ke kebun saya bagikan gratis untuk dimasak. Karena dijual juga tidak bisa. Untuk konsumsi sendiri keluarga sudah bosan,’’ katanya.
Dirinya tetap berharap dalam beberapa hari kedepan akan turun hujan, agar kebun sayurannya bisa basah dan subur. Pastinya mengurangi biaya operasional.” Kami mulai dari mengolah kebun itu minta bantuan tukang kebun,”tandasnya. (*)