*Disusul Seberang Ulu 1 dan 2
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Jumlah masyarakat dalam kemiskinan ekstrem di kota pempek sebanyak 33.389 kepala keluarga (KK).
Angka itu berdasarkan data yang didapatkan Dinas Sosial (Dinsos) Palembang melalui Bappeda Litbang.
Dari 18 kecamatan, Kertapati menyumbangkan angka kemiskinan ekstrem terbanyak. Jumlahnya 4.236 KK. Disusul Seberang Ulu I dengan 3.902 KK dan Seberang Ulu 2 sebanyak 3.318 KK.
Sedangkan untuk kemiskinan ekstrem terendah berada di Kecamatan Alang-Alang Lebar (AAL) dengan jumlah 569 KK
Lalu, Kecamatan Kemuning dengan 622 KK dan Sematang Borang 625 KK.
Tingginya kemiskinan ekstrem ini menjadi pekerjaan rumah (PR) Pemkot Palembang.
“Targetnya, pada 2024, zero kemiskinan ekstrem,” ujar Kabid Penanganan Fakir Miskin Dinsos Palembang, Hj Siti Fuziah SPd MKes, kemarin.
Ia mengatakan, Dinsos sudah menyandingkan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dengan data P3KE (Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem). S
ebelumnya, Fisca Aulia, Perencana Ahli Muda Direktorat Penaggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Bappenas mengatakan,
kemiskinan ekstrem di Palembang meningkat. Permasalahannya terkait dengan data base.
"Untuk data base, masih banyak kebingungan di daerah. Menggunakan DTKS atau P3KE," ucapnya. Dalam verifikasi dan validasi data juga masih ditemukan yang belum standar.
"Sebelum ke Palembang, pihaknya sudah ke Kabupaten Garut. Juga menemukan ada ketidaksamaan cara memvalidasi dan memverifikasi antar kabupaten/kota," jelasnya Fisca.
Hal ini harus diluruskan. Sebab, sebaik apapun desain program yang dirancang, jika tidak benar cara memvalidasi dan memverifikasinya, sulit menurunkan angka kemiskinan ekstrem.
Karena bakal tidak tepat sasaran. "Untuk itu, kita perlu melakukan identifikasi.
Kita akan coba rumuskan kembali sehingga dapat menjadi masukan buat pemerintah pusat maupun rujukan di daerah," bebernya.
Untuk mendapatkan data kemiskinan yang bisa menjadi rujukan dan valid, perlu standar sama.
Barulah data itu bermanfaat dalam menyusun program penurunan kemiskinan. Kemudian perlu pedoman, siapa yang harus melakukan verifikasi dan validasi untuk di level daerah.
“Misalnya Dinsos, indikator apa saja yang digunakan biar standarnya sama dengan kabupaten/kota lainnya di seluruh Indonesia," papar Fisca.
Dalam mengukur kemiskinan ekstrem antar negara, yang digunakan adalah standar pendapatan.
Jika penghasilan di bawah $1, 9 (estimasi $1 setara Rp11 ribuan) sudah dikatakan miskin ekstrem. "Kalau di Indonesia, dihitung berdasarkan garis kemiskinan nasional," ujarnya.
Garis kemiskinan nasional didasarkan atas garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non-makanan. Masing-masing ada komponen yang dinilai.
Dan itu berbeda di setiap provinsi, juga antara perkotaan dan pedesaan. "Kita punya 67 garis kemiskinan untuk nasional.
Sementara untuk SDG's 1 hanya satu yaitu pendapatan di bawah $1, 9," pungkasnya. (tin)