Seperti di Muara Enim. Yang melakoni aktivitas penambangan batubara tanpa izin ada ribuan orang. Istilahnya tambang rakyat. Ada puluhan titik. Jumlah yang bekerja bervariasi. "Setidaknya ada 3.000-4.000 masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya di sana (tambang rakyat),” kata Kapolres Muara Enim, AKBP Andi Supriadi.Hasil yang didapat juga beragam, tergantung kondisi. Tapi rata-rata bisa 1.000 ton lebih per harinya. Kapolres mengakui, tambang rakyat ini merupakan isu sosial yang tidak pernah selesai dari tahun ke tahun. Menjadi pekerjaan rumah (PR) besar jajaran Polres Muara Enim "Jadi content kami di tahun ini. Kami akan berusaha menyelesaikannya tanpa konflik, sesuai petunjuk dan arahan Kapolda Sumsel," bebernya. Baca juga : Pertambangan jadi Investasi Favorit Investor Lokal Menurut Andi, keterlibatan ribuan warga dalan PETI batubara ini juga harus menjadi PR besar pemerintah daerah (pemda). “Kami tidak bisa bekerja sendiri,” tegasnya. Salah satu langkah yang dilakukan, menggandeng PT Bukit Asam Tbk sebagai perusahaan resmi plat merah untuk menyelesaikan persoalan ini.
Dari informasi yang dikumpulkan polres, para pemodal PETI batu bara di Muara Enim kebanyakan dari luar Sumsel. Mereka mengambil keuntungan dari penambangan liar itu. Padahal, dampak dari aktivitas tersebut banyak sekali. Mulai kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan, batubara yang dijual tidak pernah bayar royalty dan lainnya.“Batubara hasil PETI dibawa ke Lampung hingga Jabodetabek,” tambah Kapolres. Yang menuai keuntungan besar tentu saja para pemodal. “Sebagian besar masyarakat yang terlibat kehidupannya biasa-biasa saja," ulasnya. Tapi, setidaknya, dari penambangan liar itu mereka bisa mendapatkan penghasilan untuk bertahan hidup. Contoh, bagi yang jadi ojek motor membawa batubara dari tambang ke lokasi pengepokan, seminggu dapat berpenghasilan Rp300-400 ribu. Cukup untuk makan sehari-hari.
Karenanya, upaya pemberantasan PETI ini jadi tidak mudah. "Kalau kita bicara teori memang mudah. Namun aplikasi di lapangannya, banyak faktor perlu kita pikirkan sebelum mengambil langkah penyelesaian,” bebernya. Salah satunya, ucap Kapolres, jangan sampai langkah yang diambil berujung jadi konflik sosial.Persoalan kesejahteraan masyarakat kecil yang terlibat dalam penambangan ilegal batu bara ini perlu dicarikan solusinya. “Mereka butuh pekerjaan dengan hasil yang instant sebagai pengganti. Baru bisa dirasakan manfaatnya," tegasnya. Penegakan hukum menjadi upaya terakhir bila sudah tidak ada solusi yang terbaik lagi. Baca juga : DPO Tambang Ilegal Diminta Serahkan Diri Baca juga : 230 Ribu Warga Muba Terlibat Tambang Minyak
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Muara Enim, Shofian Aripanca, mengatakan, di Muara Enim setidaknya ada 102 perusahaan tambang yang terdaftar. "Namun yang aktif sekitar 40-an. Itu tambang besar. Kalau galian C, kami belum pernah mengeluarkan izinnya," tutur dia.Dari hasil pertemuan dengan manajemen PT Bukit Asam, ada beberapa kesimpulan. Salah satunya, akan dibentuk tim teknis penyelesaian permasalahan PETI batu bara dengan melibatkan stakeholder terkait. Dengan begitu diharap dapat ditentukan langkah-langkah yang tepat secara berkelanjutan sebagai penyelesaian. Kemudian, soal perlunya dibentuk koperasi berbadan hukum sebagai lembaga yang akan menaungi para penambang liar akan dibawa ke Kementerian ESDM untuk dikaji bersama. Geliat tambang ilegal juga terjadi di Kabupaten Muratara.
Tambang emas di kabupaten pemekaran Mura ini sudah seringkali digerebek pihak kepolisian. Tapi setelah itu justru makin menjamur. Jumlah penambang emas liar itu terus bertambah. Dari sekitar 170 titik kini sudah 250 titik. Ribuan orang terlibat di dalamnya. Salah satu kerusakan lingkungan yang terjadi, air sungai semakin pekat. Bukan lagi keruh.Keberadaan tambang liar emas ini menyebar di sepanjang aliran Sungai Tiku, Sungai Minak, hingga di wilayah Ulu Rawas. Ada yang gunakan teknik dompeng, gunakan mesin sedot kapasitas besar. Modal sekitar Rp40-50 juta untuk dompeng pontoon, dan belasan juta untuk dompeng lanting. “Sehari bisa dapat 9-17 gram emas dengan dompeng ponton. Kalau dompeng lanting 4-6 gram,” beber MO, salah seorang penambang liar. Untuk harga jual emas kadar 90 persen saat ini berkisar Rp800-900 ribu/gram. Kadar 60 persen berkisar Rp500-600 ribu/gram. Baca juga : Energi – Tambang Sumsel “Laris” Baca juga : Tambang Batu Bara Ilegal Kembali Marak
Mayoritas di perairan sungai, kadar emas yang ditemukan warga paling tinggi 65 persen. Satu dompeng yang kerja 6-7 orang. Sistem bagi hasil dengan pemodal 60:40. “Dari 40 persen untuk pekerja, kami bisa dapat seminggu Rp1 juta lebih," tuturnya.Sementara, untuk illegal drilling terdeteksi di Rawas Ilir Muratara. Sejak 2016, setidaknya ada 80 titik yang ditutup paksa Pemda bersama pihak kepolisian. Sedikitnya 250 warga yang ikut terlibat dalam aksi penambangan ilegal minyak mentah itu. Pada 2020 terjadi insiden meledaknya bak penampungan di salah satu titik illegal drilling di Desa Beringin Makmur II, Kecamatan Rawas Ilir. "Di tempat kami banyak di dapati sumur tua. Kemarin itu ada sumur ngeluing (meluap, red) jadi heboh," ungkap Taufik, warga Beringin Makmur II.
Biasanya, pengeboran dilakukan warga pada kedalaman 200-300 meter. "Ada yang borongan meteran. Satu meter Rp120 ribu, tapi pipa untuk menyedot minyak beli sendiri. Itu harganya sampai Rp60 juta," ujarnyaUntuk modal borongan biasanya sampai Rp80 juta lebih, dengan kedalaman 200 meter. Biasanya warga kongsi dengan beberapa pemodal luar, dengan sistem bagi hasil. Pembagiannya, 20 persen untuk pemilik lahan dan 80 persen bagi pemodal.
Tahun ini, masih ada beberapa titik aksi pengeboran sumur tua yang dilakukan secara sembunyi sembunyi di wilayah Rawas Ilir. Juga lokasi memasak minyak mentah di wilayah Kecamatan Rupit yang terpantau masih beroperasi.Minyak hasil sulingan tradisional dipasarkan ke sejumlah perusahaan tambang dan kelapa sawit di wilayah Muratara dan Provinsi Jambi. Untuk tambang pasir dan batu sungai juga cukup banyak. Setidaknya terdata 35 titik lebih di sepanjang aliran Sungai Rawas dan Rupit. Semua tambang pasir maupun batu itu ilegal dan dipastikan tidak pernah mempunyai izin resmi. Baca juga : Ada Bansos Rp2 Juta untuk Anak SMA, Syaratnya.. Aktivitas penambangan pasir juga ditemukan di wilayah OKI. “Sudah banyak yang pindah dan berhenti karena hasilnya berkurang,” ucap Rico, seorang penambang pasir di Kelurahan Kedaton.
Dia tahu kegiatannya illegal.Penyebabnya, mengurus izin selain lama, sulit dan juga perlu banyak keluar uang. Itulah sebabnya rata-rata tambang pasir tidak memiliki izin. Per kubik, pasir dijual Rp60 ribu. Dalam sehari bisa 10 kubik pasir.Kepala Bidang Penegakan Perda Dinas Pemadam Kebakaran dan Satpol PP OKI, Mantiton mengatakan, pihaknya akan kembali turun ke lapangan untuk mengecek keberadaan usaha tambang pasir ilegal."Kalau di Kayuagung ini ada sekitar 20 an tambang yang beroperasi di Sungai Komering," ujarnya. Mereka akan didata dan diimbau untuk mengurus izin ke Dinas ESDM Provinsi Sumsel. Di kabupaten Muba, masih dipusingkan dengan aktivitas illegal drilling atau sumur minyak illegal. Tak hanya buat pusing daerah, tapi juga pemerintah pusat. Pj Bupati Muba, Drs H Apriyadi Mahmud mengungkapkan, berdasarkan data hasil inventarisir ada sekitar 230 ribu masyarakat Muba yang terlibat pada aktivitas penambangan sumur minyak.
"Ini jumlahnya sangat banyak,” katanya. Berbagai upaya penindakan sudah dilakukan. Tapi juga tak menuai hasil maksimal. Kini sedang diupayakan untuk membina semua tambang illegal itu agar jadi legal dan tidak lagi merugikan negara.“Kami sangat berharap pemerintah pusat dapat mengakomodir tata kelola ini,” pinta Apriyadi. Juga berharap segera ada realisasi konkret terkait revisi Permen ESDM nomor 1 Tahun 2008. Pemkab Muba sudah siapkan tata kelola keselamatan kerja dan lingkungan hidup. Tata kelola kontrak jasa dan perjanjian kerja sama. Lalu, tata kelola penguatan kapasitas kelompok masyarakat dan tata kelola akses pemodalan dan kredit lunak bagi masyarakat pemilik sumur minyak. “Kami sangat yakin rencana tata kelola ini sudah mengakomodir perlindungan masyarakat dan lingkungan di Muba," jelasnya.
Makin maraknya illegal drilling di Muba tergambar dari ungkap kasus oleh Polda Sumsel di akhir 2022 yang terjadi kenaikan dibandingkan 2021. Sepanjang tahun lalu terungkap 81 perkara, dengan 137 tersangka dan barang bukti 1,5 ton minyak mentah.Kapolda Sumsel Irjen Pol A Rachmad Wibowo SIK berkomitmen untuk membantu menuntaskan itu. "Kami berkeyakinan apabila pengelolaan sumur minyak masyarakat di-back-up dengan tata kelola yang baik, ke depan berbagai persoalan ini bisa diatasi dengan baik," ujarnya. Baca juga : Bantai Korban Live di Medsos Di Lahat, sudah beberapa kali dilakukan penindakan terhadap aktivitas penambangan illegal berupa galian C di luar IUP (izin usaha pertambangan) maupun tambang batubara rakyat. “Kasus terakhir sudah P21 di Kejari Lahat. “Tersangkanya As, masih buron. Akan kita kejar untuk pelimpahan tahap 2" ujar Kasat Reskrim Polres Lahat, AKP Herly Setiawan SH MH.
Di daerah lain, pengawasan terhadap pertambangan sulit dilakukan. “Sebab, IUP jadi kewenangan pemerintah provinsi dan pusat. Tidak ada di kabupaten/kota,” kata Kepala DPMPTSP OKU, H Imron HS ST MM. Di Empat Lawang, tercatat ada enam titik galian C, tambang batu pasir. “Semua berizin,” imbuh Kepala DLHD Empat Lawang, Irtansi. Terpisah, Kepala DPMPTSP Kabupaten PALI, Rismaliza menambahkan, ada empat tambang batubara di sana. “Semuanya sudah kantongi izin. Begitu juga tiga perusahaan migas.Gubernur Sumsel H Herman Deru (HD) dalam FGD pertambangan pada Desember 2022 lalu mengakui, tambang ilegal tidak bisa diawasi. Begitu pula dampaknya terhadap lingkungan. "Seperti penambang atau pemilik lahan sumur minyak tua, harus kita pikirkan. Agar mereka dapat menjadi penambang yang legal," tandasnya. Jika legal, maka dampak terhadap lingkungan dapat diawasi. Juga berikan pemasukan terhadap negara.(way/zul/kur/gti/uni/bis/eno/ebi)
Kategori :