Naik Sepeda

Sabtu 29 Jul 2023 - 23:32 WIB
Reporter : Rian Sumeks
Editor : Rian Sumeks

Naik Sepeda Oleh: Dahlan Iskan INILAH contoh seseorang yang awalnya hanya bisa menulis satu-dua kalimat, lantas bisa menjadi penulis yang baik. Bisa bercerita. Tulisan berbentuk ''bercerita'' adalah awal dari perjalanan seorang penulis. Bisa. Awalnya mencoba. Lalu mencoba lagi. Akhirnya Wanita Disway ini bisa menulis. Dia menjadi bukti bahwa dengan cara terus berlatih akhirnya bisa menulis. Tulisan ini hampir tanpa perubahan sedikit pun. Sengaja dimuat apa adanya untuk menandai perjalanan kepenulisannya: [7/27, 23:15] Yani Jkt: Pagi tadi seorang teman - Ose- mengirim link berita dari CowasJP dan menyertakan pertanyaan "apakah orang yang dimaksud Pak DI ini mbak Yani? Lalu saya menjawab,  "mungkin ada orang lain yang kebetulan namanya sama". Kemudian ia membalas,  "nama Handayani banyak, tapi yang ada Dwiati itu yang langka". Saya pun bertanya, "menurut pak Ose itu nama saya atau bukan? Ia menjawab, " Keto'e". Saya pun membalas dengan emoji "malu". [7/27, 23:15] Yani Jkt: Saya ingat, pernah kirim WA ke DI berisi komentar soal tulisan di Disway. Komentar  pertama saya direspons dengan sangat pendek, "hatur nuhun". Mungkin saya dikira orang Sunda. Beberapa hari kemudian, setelah berkomentar lagi, saya mendapat WA, "Terima kasih, mbak Yani sudah mengikuti tulisan saya". Saya senang, sayalah  yang harus berterima kasih karena komentar saya direspons dan  nama saya disebut. Komentar saya yang ketiga, direspons dengan "anda punya bakat menulis". Wow, bukan main senangnya, tanpa saya sadari ternyata dari tulisan saya yang sederhana itu dinilai ada bakat menulis. Tidak bermaksud untuk membuktikan, saya terus menulis dan terus menulis. Tulisan komentar saya tentang Khalil Gibran, tentang kesaksian Boby, tentang perjalanan ke Inggris dan Amerika, semua mendapat respons yang baik. Ada kalanya komentar saya tidak direspons, tidak mengapa. Mungkin saat itu tulisan saya sedang kurang baik dan waktunya introspeksi diri. Saat ini saya merasa sangat beruntung, nama saya disebut kembali, di tulisan Disway hari ini bahkan dimungkinkan bisa "mengalahkan" tulisan Bapak Mirza Mirwan yang  bermuatan ilmu pengetahuan dan tulisan Bli Leong Putu yang penuh canda, santai tapi juga serius. Saya berharap kali ini Bapak sedang bergurau. Masih jauh rasanya jika dibandingkan dengan tulisan beliau berdua. Membaca kolom komentar hari ini, saya dibuat tertawa eh.. senyum-senyum sendiri, terutama tulisan Kang Sabarikhlas yang mengira saya mau menjadi perusuh baru, he he. Tulisan Bapak Fiona Handoko, Jo Neka, Bapak Riyono SKP, Bapak Thamrindahlan dan Jimmy Marta  yang penasaran dan menebak-nebak nama samaran dari Dwiati Handayani. Rasanya ingin saya merespons semua komentar mereka, tapi saya belum cukup berani untuk menulis di kolom komentar. Saya masih ingin terus belajar membuat tulisan yang baik dan layak untuk dibaca oleh banyak orang. Satu lagi harapan saya, bukan hanya menjadi penulis yang baik, tapi juga menjadi pembaca yang baik. Pembaca yang bisa memahami nilai-nilai baik dari seorang penulis yang tersirat dalam tulisan yang dibuatnya. Terima kasih Bapak, Disway membuat saya di masa pensiun ini memiliki kesibukan yang positif yaitu membaca dan menulis selain aktivitas yang membahagiakan, momong cucu. [6/27, 01:35] Yani Jkt: Membaca Disway hari ini saya jadi teringat pada Ibu saya.  Saat ini beliau  berusia 83 tahun - tepatnya nanti di  bulan Desember. Sebagai Ibu rumah tangga biasa yang berprofesi Guru TK, Ibu tidak terlibat dalam dunia politik, juga bukan pengamat politik. Meskipun sebagai rakyat biasa, menurut saya, beliau  adalah seorang Soekarnois. Mungkin  terbawa oleh suaminya, yaitu mendiang Bapak saya yang selisih usianya 16 tahun lebih tua pada saat mereka menikah. Ketika Ibu Megawati terpilih menjadi Presiden RI, Ibu saya sangat kagum dan bangga, bukan hanya karena Ibu Megawati seorang  wanita tetapi lebih karena Ibu Megawati adalah anak dari seorang Soekarno. Bersyukur, Ibu saya tergolong sehat di usianya kini, tidak ada keluhan fisik yang berarti. Hanya satu yang dirasakan, berkurangnya pendengaran. Puji Tuhan, bisa teratasi dengan alat bantu pendengaran. Daya ingatnya masih sangat-sangat tajam, terutama ketika beliau bercerita tentang masa lalu. Manis-pahitnya bahkan getirnya kehidupan yang dijalaninya. Kami bertiga (anak-anaknya) selalu senang dan dengan sungguh-sungguh mendengarkan ceritanya. Seperti yang saya rangkum berikut ini: Ibu saya merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Figur ayahnyi yang dipanggilnyi dengan sebutan Rama (baca: Romo), ibu dapatkan dari kakak laki-laki tertua. Ibu dan saudara-saudaranyi ditinggal ayah berpulang ketika ibu saya masih kecil. Sosok ibunyi yang disebutnya "simbok" sangat berarti dalam kehidupannyi. Berbekal sebidang sawah sambil berjualan suruh (sirih untuk menginang) di pasar, Simbok tetap menjanda dalam membesarkan keempat anak-anaknyi. Ketika masih bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) ibu saya  terjangkit malaria, penyakit yang menjadi pandemi pada saat itu. Memerlukan waktu 2 tahun untuk pemulihan sampai rambutnya yang rontok kembali tumbuh, sehat, hitam dan lebat. Pulihnya kesehatan ibu   membuat semangatnyi  bangkit. Ingin melanjutkan sekolah tapi bukan di sekolah  yang lama, malu katanyi. Sekalipun teman-teman dan gurunyi datang membujuk, ibu tidak mau. Ibu ingin bersekolah di SKP (Sekolah Kepandaian Putri). Sekolah Kartini, namanya. Terletak di pusat kota Gombong, bukan di desa seperti sekolah sebelumnya. Dengan semangat, ibu yang seharusnya sudah duduk di kelas 6, rela mengulang  di kelas 4. [6/27, 01:35] Yani Jkt: Tentu saja ibu menjadi murid yang pintar. Sering terpilih  mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai perlombaan dan menjadi juara. Karena itu ibu menjadi murid  kesayangan  para guru. Satu moment yang paling diingatnyi, ketika ibu menyampaikan keinginan  kepada Simbok: "Mbok, aku terpilih menjadi salah satu anggota barisan inti untuk mengikuti karnaval dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI. Tapi... aku harus memakai sepatu warna putih". Kemudian.. Simbok membelikannya dan di saat itulah, untuk pertama kalinya ibu ke sekolah memakai sepatu. Saya membayangkan betapa senang dan bangganya mereka berdua, Simbok dan anak wedoknyi. Sungguh bahagia ibu bisa mewujudkan keinginannya bersekolah di Sekolah Kartini. Sekolah yang diimpikannyi. Sekolah yang semua muridnya perempuan, begitu juga para guru dan kepala sekolahnya. "Hanya tukang kebun sekolah yang laki-laki", kata Ibu, mengenang.

Tags :
Kategori :

Terkait