*Oleh: Dahlan Iskan
INI ada 1.000 Wang Puliau. Saya kaget. Saya pernah memakannya. Bulan lalu. Di Surabaya. Satu ekor Rp 6 juta. Berarti ini Wang Puliau senilai Rp 6 miliar. Enam tahun lagi. Kalau dijual di Jakarta atau di Surabaya. Tapi 1.000 Wang Puliau yang saya lihat itu tidak di Jakarta. Saya melihatnya di daerah asalnya: Kalimantan Barat. Selasa kemarin. Saya baru tahu: Wang Puliau itu asli Kalbar. Tepatnya dari Danau Sentarum, jauh di pedalaman. Hampir 1.000 km dari Pontianak. Danau itu sudah dekat dengan perbatasan Malaysia. Nama Wang Puliau sendiri dipopulerkan di Malaysia. Bahasa Mandarin. Artinya: tak terlupakan. Di Kalbar namanya pendek: ikan Semah. Maka saya kaget ketika ada info: 1.000 Semah lagi diteliti di Kalbar. Yang melakukan penelitian adalah Balai Latihan Usaha Perikanan Kalbar. Balai ini dulunya berupa sekolah: Sekolah Usaha Perikanan. Menteri Susi Pudjiastuti minta sekolah itu diubah menjadi balai latihan. Maka saya berkunjung ke balai itu. Setengah jam dari pusat kota Pontianak. Jauh melewati pelabuhan. Di situ ada tiga kolam indoor. 500 Semah dipelihara di situ. Yang 500 lagi dipelihara di kolam balai yang ada di Mempawah, sekitar 50 km dari Pontianak.“Sudah berapa lama ikan ini dipelihara di kolam ini?”“Sudah 1,5 tahun,” ujar Fuad Fudoli, kepala balai. Fuad sarjana perikanan lulusan sekolah Tinggi perikanan Pasar Minggu. Aslinya Majalengka. Istrinya melayu Kalbar. Saya pun manggut-manggut. Pantas diperlukan 6 tahun untuk bisa menjadi 1,5 meter. Di kolam 1,5 tahun itu ikannya masih kecil-kecil. Belum sampai 10 cm. Sehari diberi makan pelet 4 kali. Ikannya agresif. Begitu dilempari pelet langsung berlompatan sigap. Riuh. Air menciprat ke baju saya. Mungkin itulah –ini tidak ilmiah– yang membuat rasanya enak. Ikannya banyak gerak. Tidak mudah gembrot. Baru sekali ini Semah diteliti. Sampai hari ini Semah belum bisa dipijahkan. Belum ada yang tahu bagaimana cara mengawinkannya. Semua masih alami. “Membedakan mana yang jantan dan betina saja belum bisa,” ujar Fuad. Mungkin setelah Semah bisa kawin, Fuad akan pensiun. Sebentar lagi. Atau bisa jadi kawinnya masih lama. Umur 1,5 tahun saja masih kelihatan ABG. Belum ingin kawin. Fuad ingin agar ikan Semah bisa dikawinkan dengan mudah. Seperti ikan-ikan yang lain. Jelawat pun sekarang sudah bisa dipijahkan. Ikan jantannya disuntik hormon. Agar gairah kejantanannya meningkat. Lalu dilepaskan di kolam betina. Si jantan akan langsung nguber lawan jenisnya. Bisa berbiak dengan cepat. Begitu lama menunggu Semah bisa dimakan. Begitu cepat memakannya. Tidak imbang. Kecepatan manusia memakannya ribuan kali lipat dari kemampuan betinanya menghasilkan telur. Kian lama Semah kian langka. Pun di Danau Sentarum. Padahal tidak mudah menjangkau Danau Sentarum. Bisa 14 jam dari Pontianak. Gabungan naik mobil dan perahu. Luasnya 130.000 hektare. Masuk Kabupaten Kapuas Hulu. Danau Sentarum sudah dinyatakan sebagai cagar alam. Di musim apa pun udaranya basah. Ini yang membuat aneka hayati hidup di sini. Sejauh ini kawasan Danau Sentarum terjaga. Di musim kemarau sepertiga air sungai Kapuas berasal dari danau ini. Dari danau inilah Fuad membeli 1.000 benih Semah. Satu ekor seharga Rp 2000. Bandingkan dengan benih lele: hanya Rp 200/ekor. Modal Rp 2.000 itulah yang akan bisa menjadi Rp 6 juta. Enam tahun kemudian. Kalikan sendiri berapa biaya makanan untuk enam tahun. Ditambah makanan terakhir mereka selama tiga bulan: kelapa. Agar ketika dipanen rasa ikannya gurih.”Di sini Semah biasa diberi makan ulat aren,” ujar Fuad. “Bisa juga ulat sawit,” tambahnya. Enam tahun lagi saya akan ke Kalbar. Siapa tahu bisa beli satu.(*)
Kategori :