NAMANYA Haji Goei Hing An. Dipanggil Abah Anton. Fotonya banyak dipasang di kampung-kampung Kota Malang.
Maksudnya: agar Mochamad Anton maju lagi sebagai wali kota Malang tahun depan.
Anton sendiri masih mikir-mikir. Belum tentu mau. Ia seorang yang sudah kaya.
Sejak muda. Begitu lulus universitas, Anton mengikuti jejak ayahnya: jadi pengusaha. Ia bertanam tebu. Ratusan hektare. Di tanah sewaan. Kian lama kian luas.
Tebu itu untuk memasok pabrik gula di sekitar Malang. Ia pun jadi pedagang gula.
Lalu dagang tetes –limbah penggilingan tebu yang bisa untuk bahan baku penyedap masakan.
Anton aktif di Nahdlatul Ulama, NU. Sejak belia. Juga menjadi ketua PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) Malang. Lalu dicalonkan oleh PKB jadi wali kota Malang.
Terpilih. Periodenya 2013 sampai 2018. Kemenangan Anton fenomenal. Pesaingnya 6 pasang.
Pilkada diikuti 7 pasang, yang dua independen. Anton mendapat suara lebih 60 persen. Satu putaran.
Menjelang Pilkada 2019, Anton maju lagi. Wakilnya juga maju sebagai pesaing. Lewat Partai Demokrat. PDI-Perjuangan juga memajukan calon.
Tok. Tiga pasang akan bersaing di 2024. "Saya hampir pasti menang lagi," ujar Abah Anton. "Menurut hasil survei LSI, saya akan mendapat 90 persen suara," ujar Anton.
Pilkada pun tinggal 3 bulan berselang. Ia ditangkap KPK. Jadi tersangka. Ditahan. Kursi periode kedua yang sudah di tangan pun lepas.
Itu bukan tangkap tangan. Tidak pula ditemukan aliran uang ke rekeningnya. Ia ditangkap karena menandatangani dokumen putusan DPRD Kota Malang.
"Sebagai wali kota saya harus tanda tangan. Kalau tidak, mereka tidak gajian," ujar Anton.
Itulah dokumen putusan sidang pleno DPRD Kota Malang. Isinya (termasuk) anggaran Rp700 juta untuk dana bina sosial anggota DPRD.
Uang Rp700 juta itu dibagi 45 orang anggota. Pimpinan dapat Rp15 juta. Ada anggota biasa hanya dapat Rp3,5 juta.
Semua jadi tersangka. Utamanya Sekretaris Kota Malang Drs Wasto. Wali Kota Malang Abah Anton dalam posisi ''ikut serta''.
Demikian juga ketua, wakil ketua, dan seluruh anggota DPRD. Wali Kota dianggap menyuap DPRD.
Yakni untuk mengesahkan APBD-P tahun 2015. Yakni di tahun pertama Anton jadi wali kota. Baru ditangkap tahun kelima.
Ups..ada empat yang tidak jadi tersangka. Satu bernama Subur. Ia jadi justice collaborator.
Satunya lagi seorang anggota dewan, wanita, karena tidak menghadiri pleno. Dia lagi sakit. Yang lain karena baru menjabat sebagai anggota pengganti antarwaktu.
Satu-satunya yang dinyatakan ''tidak ikut serta'' adalah wakil wali kota saat itu: Sutiaji. Ia pun naik menjadi pelaksana tugas wali kota.
Akibat penangkapan massal ini Anton dan calon dari PDI-Perjuangan dicoret KPUD.
Tinggal Plt Wali Kota Sutiaji satu-satunya calon wali kota yang tidak dicoret Komisi Pemilihan Umum.
Maka Sutiaji melenggang ke pilkada sendirian. Lawannya kotak kosong. Ia menjabat wali kota Malang sampai sekarang ini.