PALEMBANG - Koalisi warga untuk keadilan akses kesehatan mendesak pemerintah agar menghentikan pembahasan RUU Kesehatan. Sayangnya setelah mendapat gelombang protes dari pakar, akademisi, peneliti, tenaga kesehatan, serta kelompok lainnya, Pemerintah belum juga memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Hal ini berisiko merampas hak kesehatan rakyat dan mengancam kedaulatan negara.
Salah satu pembicara webinar “Tolak RUU Kesehatan” via zoom kemarin, Yemiko mengatakan pihaknya menolak RUU Kesehatan Omnibus Law karena menilai UU ini hasil pemufakatan jahat pemerintah dengan DPR yang merampas hak rakyat atas kesehatan dan mengancam keselamatan rakyat serta kedaulatan negara.Menurutnya, setidaknya ada tujuh poin RUU yang melanggar hak rakyat atas kesehatan. Yakni pemerintah dan DPR telah membuat RUU Kesehatan Omnibus Law dengan cara melanggar hukum dan konstitusi. Kemudian RUU ini hanya cek kosong bagi rakyat, menghukum rakyat miskin, kelompok rentan termasuk perempuan dan penyandang disabilitas masyarakat di daerah 3T. Selanjutnya instrumen pemerintah dan DPR untuk liberalisasi, komersialisasi dan industrialisasi sektor kesehatan, juga perluasan privatisasi layanan kesehatan. Kelima memberi ruang bagi pelanggaran etika oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan yang berpotensi meningkatkan mal praktik dalam layanan kesehatan di Indonesia. Ke enam membuka celah bagi pengumpulan informasi data genetik genom penduduk Indonesia yang rentan disalahgunakan. "Poin terakhir RUU disusun se1rampangan dan tidak cermat," ujarnya. Pernyataan ini didukung 44 koalisi masyarakat sipil. Narasumber lain, Sri Palupi mengatakan meskipun Pemerintah menyampaikan berbagai hal terkait janji-janji transformasi kesehatan, meningkatkan, dan memperluas layanan kesehatan sampai ke desa-desa, Sri menduga itu hanya cek kosong. Karena pada saat yang sama Pemerintah dan DPR menghapus mandatory spending, padahal itu anggaran minimal wajib yang harus dialokasikan untuk sektor kesehatan dengan berbagai alasan.
Alasan ini sangat mengada-ada misalnya anggaran minimal 5 persen dari APBN itu belum ada kajian yang valid," katanya.Lalu apakah Pemerintah dan DPR telah mengabaikan fakta-fakta yang ada? Ia mengatakan bila berdasarkan RUU Kesehatan hal itu jelas bisa terjadi sebab Pemerintah hanya mempertimbangkan aspek ekonomi bukan hak warga dan kewajiban Pemerintah memenuhi hak warga. Dia memandang RUU Kesehatan Omnibus Law disebut cek kosong karena RUU berpotensi menghukum rakyat miskin atas kejahatan yang sebenarnya selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
"Dengan mencabut atau menghapus mandatory spending maka sangat riskan dan resikonya ditanggung rakyat miskin kelompok rentan termasuk perempuan dan anak penyandang disabilitas," tandasnya. (nni/fad)
Kategori :