HEBOH BSI belum sudah. Ada heboh baru di Aceh. Bank umum sudah telanjur dihapus di sana. Di Aceh. Total. Sejak tahun lalu.
Yang ada tinggal bank syariah –didominasi Bank Syariah Indonesia, BSI.
Pun ketika saya ke Aceh Jumat-Sabtu lalu. Kisah-kisah bagaimana sempat tidak bisa belanja diceritakan siapa saja.
Mereka sudah telanjur bergantung ke uang digital. Sehingga ketika sistem di bank BSI runtuh, kapan itu, muncullah musibah masal.
Kini muncul heboh baru: perlukah bank umum dihidupkan kembali. Idenya muncul dari lembaga resmi perwakilan rakyat.
Dari Ketua DPR Aceh: SaifulBahri. Ia menegaskan perlunya peraturan tahun 2018 itu ditinjau kembali.
Saiful biasa disapa dengan PonYaya. Ia lahir di CotSeutui, Kuta Makmur, dekat Lhokseumawe, Aceh Utara. Masih muda.
Baru 45 tahun. Dari Partai Aceh, partai lokal yang didirikan para tokoh Gerakan Aceh Merdeka, GAM. PonYaya pernah menjadi panglima GAM di Aceh Utara.
Pon itu singkatan Ampon. Itu bahasa setempat untuk gelar adat di sana: Teuku.
Aturan yang dimaksud adalah Kanun Aceh No 11/2018. Tentang lembaga keuangan syariah.
Kanun memberi waktu transisi 5 tahun. Setelah itu tidak boleh lagi bank umum beroperasi di Aceh. Maka sejak Januari 2022, semua bank umum cabut dari Aceh.
Kalau saya tidak ke Aceh Jumat lalu tidak tahu kalau ada heboh baru bank syariah di sana. Heboh baru soal lama.
Pro-kontra bank syariah kembali mendominasi wacana publik di sana. Memang ada pro-kontra yang lain: apakah jabatan pelaksana tugas gubernur akan diperpanjang.
Tapi soal bank syariah lebih seru.
BSI kini mendominasi Aceh karena sejarah. Mereka awalnya nasabah Bank Mandiri, Bank BRI dan Bank BNI.
Tiga bank utama itu memiliki layanan syariah dengan nama mereka masing-masing. Ketika ketiganya merger menjadi BSI otomatis mereka menjadi nasabah BSI.
Memang masih ada tiga bank syariah lain: Bukopin Syariah, Bank Aceh Syariah (Bank Pembangunan Daerah), dan BCA Syariah.
Tapi nasabah mereka kecil. Maka begitu sistem teknologi di BSI down, Aceh nyaris lumpuh total.
Semula dikira hanya lumpuh satu atau dua jam saja. Ternyata sehari penuh pun. Masih ditambah hari kedua. Hari ketiga. Hari keempat dan hari kelima. Bayangkan hebohnya.
Jumat lalu itu saya dijemput tiga doktor dan tiga dokter dari USK di Bandara Sultan Iskandar Muda. Banda Aceh.
Tiga yang dokter lagi berproses menjadi spesialis penyakit dalam. Tiga-tiganya hanya punya rekening bank di BSI.
Selama BSI bermasalah mereka terpaksa pinjam uang orang tua yang masih menyimpan uang kontan. Atau pinjam teman.
Saya juga makan siang dengan seorang dokter spesialis, Tionghoa, kelahiran Aceh, lulusan FK USK (Universitas Syiah Kuala), juga hanya punya rekening BSI.
Dua teman makan lainnya, pengusaha Tionghoa, kelahiran Aceh sejak kakek mereka, juga punya rekening BSI.
"Kenapa tidak punya rekening BCA Syariah?"
Ternyata, kata mereka, rekening BCA Syariah tidak terkoneksi dengan sistem di BCA konvensional. Sama-sama syariah pilih di BSI.
Kalau sekarang muncul usulan perlunya bank umum dihidupkan kembali, pertimbangannya bukan lagi hanya soal keandalan sistem di BSI.
Ada persoalan lain: seberapa syariahkah sebenarnya bank syariah itu.